top of page
Search

Corona, Kuliah Daring, dan Habis Kuota

Writer's picture: Bem UnipiBem Unipi

Updated: Apr 30, 2020

Oleh: Farhan Muhammad Irham*


Pandemi virus corona (atau covid-19) masih terus menggempur sebagian besar negara di dunia, termasuk Indonesia. Seperti yang dikutip dari laman web kompas, hingga kini, hanya 15 negara anggota PBB yang belum melaporkan adanya kasus virus di Negaranya.


Di Asia sendiri, ada 3 negara yang masih terbebas dari virus corona, yaitu Korea Utara, Tajikistan, dan Turkmenistan. Namun, seiring dengan bertambahnya informasi terkini yang terkonfirmasi, jumlah pasien sembuh dan meninggal pun turut meningkat.


Sudah hampir sebulan lamanya penulis (dan teman-teman mahasiswa lain) menjalani kuliah daring oleh karena pandemi covid-19 alias virus corona ini. Awalnya berita terkait kuliah daring tersebut menjadi sebuah angin segar bagi kami para ‘kaum rebahan’ karena bisa dibilang kuliah daring ini cukup ngeunaheun, kita bisa kuliah sambil rebahan, ngemil, ngopi, bahkan udud sekalipun. Apalagi kuliah daring yang mengandalkan grup WhatsApp, jika dosen bertanya tinggal jawab, “Baik pak”, “Baik bu, insyaAllah paham” sembari sedikit menelurkan pertanyaan manipulatif biar dianggap memperhatikan seperti; “Yang ini maksudnya gimana bu, saya kurang paham” padahal sebenarnya hampir semua materi kurang dipahami karena dari tadi cuma nonton drakor sama anime di layar laptop sambil mengaktifkan WhatsApp Web. Pengalaman urang ieu mah aslina.


Tapi, lama-lama kaum rebahan juga perlu keluar dari zona nyamannya. Walaupun rebahanadalah ‘Passion’-nya, rasa jenuh tetap muncul. Tidak bertemu kerabat menjadi salah satu faktor utama kejenuhan kuliah daring. Belum lagi masing-masing dosen memiliki caranya sendiri dalam mengajar daring, aplikasi yang digunakan pun berbeda-beda. Dari yang paling sederhana seperti WA, Telegram, Google classroom sampai yang banyak menghabiskan kuota seperti live IG dan Zoom. Dan kuliah online tidak menjadikan tugas menghilang, tugas kuliah tetap ada, resume, jurnal, makalah dan lain-lain. Yang biasanya untuk menghilangkan stres setelah beres perkuliahan para mahasiswa nongki-nongki diskusi politik, filsafat, pendidikan, curhat asmara, mabar FF, cacing, PUBG dan ML bahkan hanya duduk-duduk saja sambil ngopi. Tapi itu semua berubah saat corona menyerang, tidak ada kegiatan-kegiatan penghilang stress seperti tadi. Akhirnya ide-ide pun muncul dari para mahasiswa untuk mengadakan kegiatan yang serba daring, mulai dari kajian, diskusi, bermain gartic, bahkan hanya untuk sekedar “Say hello” lewat zoom dan video call WhatsApp, dan akhirnya masalah kejenuhan pun sedikit teratasi.


Namun, dimana satu persoalan teratasi disitu pula persoalan baru kerap hadir. Salah satunya adalah aktivitas kuliah yang serba daring tentu membutuhkan kuota, ya gak? Walaupun ada beberapa platform kartu hp memberikan kuota gratis tapi tetap saja, hanya bisa digunakan untuk aplikasi tertentu, cara merubahnya jadi kuota utama ribet, sulit bagi saya yang awam tentang hal begituan. Belum lagi kartu saya tidak memberi kuota gratis.

Akhirnya muncul protes mahasiswa yang mengklaim dirinya sebagai agent of change terkait masalah ini, “lockdown disertai kuliah daring yang banyak tugas bikin mahasiswa down”, “beri kami kuota gratis atau kembalikan SPP kami” begitu kurang lebih isi dari protesnya. Ya bolehlah… But, what? Seriously? Protesnya tentang hal itu? Protes ke kampus? Tunggu-tunggu, nampaknya ada yang sedikit “lucu”. Karena kalau soal SPP, pihak kampus juga dibayar dari SPP. Jadi nuntut balik perihal SPP dan kuota nampaknya tidak logis juga. Dan seluruh mahasiswa kampus yang lain pun rata-rata menanggung beban yang sama. Lagi pula siapa sih yang mau kuliah daring yang jelas-jelas ngabisin kuota? Bahkan gaji dosen pun belum tentu cukup untuk membayar kuota, dan kalo protes kita direspon dengan “Yang belum bayar SPP tidak bisa ikut UTS dan UAS” bagaimana, masih baik lho, kampus tidak memanfaatkan hal itu, ya gak sih?


Jika perihal lockdown atau social distancing yang menghambat pekerjaan dan pemasukan bukan harus kritis ke kampus ‘dong, karena selama jobdesk pihak kampus dijalankan baik, itu tidak masuk ranah kampus. Malah yang jadi pertanyaan, "kenapa hanya muncul kritik ke kampus? sedangkan yang jadi akar persoalan hari ini pemerintah yang lambat dalam penanganan". Ya ternyata memang benar, bahwa kita itu manipulator individualis bergaya sosialis. Kita hanya peduli dengan diri sendiri. Protes baru muncul jika kenyamanan kita terganggu. Selebihnya kita benar-benar individualis tapi ngakunya makhluk sosial.

Kalo mau ayo aksi ke pemerintah! Banyak buruh di PHK, penanggulangan korban tidak serius, omnibus law, darurat sipil, dan masih banyak lagi isu-isu yang lain tapi tidak ada tanggung jawab dari pemerintah. Caranya gimana? kan lagi social distancing, yuk diskusikan bersama! Kita cari jalan keluarnya, jangan berdiskusi dalam diskusi untuk mendiskusikan hal yang tak perlu didiskusikan.


Terlepas dari itu semua mari kita berdoa agar pandemi ini bisa berakhir, memohon perlindungan kepada Allah Swt. Begitu juga dengan bencana-bencana lain yang terjadi di dunia ini khususnya di Indonesia seperti banjir, erupsi gunung merapi, gunung anak Krakatau dan lain-lain. Karena belum satu semester di tahun 2020 ini, sudah banyak banyak bencana yang terjadi. Jangan tanyakan “2020 kenapa sih? Kok gini-gini amat?” tanyakan diri kita sendiri sebagai manusia, “sudah berbuat apa kepada semesta? Sampai semesta murka seperti ini”. Wallahu A’lam Bish Shawwab


*Menlitsuspol BEM Unipi

50 views0 comments

Recent Posts

See All

The Twisted-Ending-Boy

Oleh: Iris (nama samaran) He was sitting in the front when I first saw him. Quiet and seems like he's not interested for socializing....

Musik Sebagai Medium Kritik sosial-politik

Oleh : Yogi Esa Sukma Nugraha Ada sebuah fenomena masif dari musik belakangan yang menjadi kekuatan politik. Hal itu terjadi pada 2014....

Comments


Post: Blog2_Post

08975018018

Subscribe Form

Thanks for submitting!

©2020 by BEM Universitas Persatuan Islam. Proudly created with Wix.com

bottom of page