Oleh : Yogi Esa Sukma Nugraha
Semua dimulai ketika beberapa waktu silam publik disodorkan pemberitaan ihwal kegalauan Maudy Ayunda. Saat itu, yang bersangkutan bimbang memilih dua Universitas ternama di dunia, Stanford dan Harvard, dalam rangka melanjutkan program masternya. Yang unik, hal itu memantik ramainya perdebatan publik ihwal privilese yang dimiliki Maudy Ayunda.
Perdebatan itu bertambah runyam tatkala Presiden Jokowi merekrut para milenial sebagai staf khusus, termasuk Putri Tanjung, anak pengusaha Chairul Tanjung. Semakin banyak kritik dari masyarakat di sosial media wabilkhusus terkait privelese yang mereka terima, baik dari orang tua ataupun koleganya.
Obrolan seputar privilese semakin berat dan serius, ketika Angga Sasongko (Sutradara) dan Eka Kurniawan (Novelis) turun gelanggang. Keduanya menanggapi persoalan privilese ini dengan cukup keras. Angga Sasongko berpendapat bila "penunjukan tujuh orang milenial berlatar belakang CEO bukanlah privilese. Orang-orang yang berpendapat para staf khusus mendapatkan privilese hanyalah orang iri dan dengki." Suatu pernyataan khas kepercayaan meritokrasi yang menekankan bahwa kesuksesan adalah buah dari bakat dan kerja keras —yang selama ini kerap diterima begitu saja oleh masyarakat tanpa upaya untuk mengkritisinya.
Namun, tak lama kemudian, pernyataan demikian dibantah Eka Kurniawan. Saya kutip pernyataannya secara utuh:
"Anak-anak orang kaya, CEO ini dan itu, diangkat jadi stafsus Presiden, berkantor di istana, terus nyuruh rakyat Indonesia bersikap adil? Mereka berkesempatan didengar presiden setiap hari dan bisa mempengaruhi kebijakan. Itu bukan privelese? Kamu orang kaya —> bicara tiap hari ke presiden dengan bias kelasmu —> menjadi kebijakan yang akhirnya menguntungkan kelasmu lagi —> nanti anak-cucumu kembali menikmati lingkaran setan ini. Privilese itu nyata, tapi Negara bisa mencoba memangkasnya, dengan memberi kesempatan kepada warga negara yang tak memilikinya agar bisa memperoleh akses setara dengan yang memilikinya. Kalau ada yang perlu diminta adil, itu adalah presiden. Bisa dengan langkah sederhana: Staf khusus harusnya dari kaum blangsak. Dengarkan mereka, setiap hari, tentu dengan gaji staf khusus, ya, karena kaum blangsak adalah sebanyak-banyaknya warga negara. Jangan cuma dengar kaum blangsak sebelum pencoblosan, setelah menang dengan enteng bilang, 'saya tak punya beban.'
Ini sentimen kelas, mungkin iya. Yang diomongin Angga juga jelas sentimen kelas. Dia sedang membela kelasnya."
Pernyataan bernas Eka Kurniawan ini kemudian dijustifikasi oleh The SMERU Research Institute, sebuah lembaga riset independen yang didirikan sejak 2001 dan berfokus pada penelitian serta kajian kebijakan publik. Lembaga tersebut menyampaikan hasil studi mereka terkait hubungan hubungan sebab-akibat antara hidup miskin saat anak-anak dan pendapatan mereka saat dewasa. Studi ini telah diterbitkan di ADB Institute, sebuah lembaga think tank terkemuka di Asia.
Dalam studi berjudul Effect of Growing Up Poor on Labor Market Outcomes: Evidence from Indonesia, The SMERU Research Institute mengambil sampel anak-anak yang berusia 8–17 tahun pada tahun 2000. Sebanyak 17 persen dari sampel tersebut merupakan anak dari keluarga miskin. Lembaga itu kemudian melihat pendapatan mereka pada 2014, saat mereka telah berusia 22–31 tahun. Hasilnya, anak-anak dari keluarga miskin memiliki pendapatan sekitar 87 persen lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga sejahtera saat mereka dewasa.
Tapi, sebelum kejauhan, apa sebetulnya privelese itu?
Menurut seorang Wikipediawan Bahasa Indonesia —Ivan Lanin, privilege = privilese; hak istimewa. Bahasa Indonesia menyerap kata itu dari privilegie (Belanda), dari bahasa Latin privilegium 'hukum yang berpihak atau berlaku kepada individu tertentu'. Dalam perkembangannya sering diartikan sebagai hak istimewa yang cuma didapatkan bila seseorang terlahir dari keluarga yang kaya dan memiliki akses lebih untuk mengembangkan segala potensi dirinya. Privilese atau hak istimewa sering diartikan sebagai hak-hak yang melekat pada diri seseorang sejak lahir dan membuatnya lebih mudah dalam menggapai kesuksesan. Bentuk-bentuk privilese bermacam-macam, namun secara umum seseorang dianggap memiliki privilese bila berasal dari keluarga yang mapan, memiliki akses pendidikan, dan menikmati jaminan kesehatan.
Dan sekeras apa pun kelompok berprivelese menolak untuk mengakui keistimewaan bawaan yang mereka miliki, fakta di muka menunjukkan bahwa kelas ekonomi masih berperan signifikan dalam menentukan garis hidup seseorang. Bahkan pandemi COVID-19 saat ini semakin memperdalam jurang antara kelompok menengah-bawah dan atas di Indonesia yang sebelumnya sudah sangat lebar.
Di saat pekerja menengah-atas masih bisa bekerja dari rumah, misalnya, sebagian pekerja dari kelompok rentan harus kehilangan penghasilan akibat kondisi ekonomi yang memburuk. Di dunia pendidikan, anak-anak dari kelompok menengah-bawah belajar lebih sedikit selama pandemi dibandingkan mereka yang berasal dari keluarga mampu.
Bagaimana kita sebagai kaum terpelajar menyikapi hal ini? Dari sekian banyak bidang keilmuan yang ada di Universitas Persatuan Islam, mari kita coba menyelami sejarah, yang mana, selayaknya ilmu lainnya yang tidak akan pernah bisa lepas dari realitas kehidupan sosial manusia. Selain, dapat pula memberikan kontribusi bagi peradaban selanjutnya.
Baiklah, tanpa berlama-lama kita mulai dengan fakta bahwa pada awal abad ke-20 merupakan dimulainya sebuah era baru dalam politik kolonial, yaitu politik etis. Slogan dari era baru ini adalah "kemajuan". Politik Etis, adalah kebijakan yang disahkan pemerintah kolonial Hindia Belanda sejak 17 September 1901. Setelah sebelumnya Ratu Wilhelmina (1890-1948) mengumumkan suatu penyelidikan tentang kesejahteraan di Jawa. Politik Etis dikenal juga sebagai Politik Balas Budi. Semangat zaman etis ini adalah "kemajuan menuju modernitas", kemajuan dalam arti di bawah pengawasan Belanda dan "modernitas" sebagaimana orang Belanda di Hindia memaknai peradaban barat sebagai yang adiluhung. Pihak Belanda menyebut tiga prinsip yang dianggap merupakan dasar kebijakan etis: pendidikan, perairan, perpindahan penduduk. (Ricklefs, 2008: 328)
Perubahan signifikan hadir beriringan dengan hal ini, terutama ekonomi. Trem listrik mulai beroperasi pada awal zaman ini. Rust en orde ditegakkan di beberapa wilayah. Kegiatan dagang Belanda meningkat cepat; angka-angka ekspor bertambah dua kali lipat dalam dekade pertama abad-20, dan bertambah lebih dari delapan kali lipat pada 1920. Produksi lada, kopra, timah, kopi, dan komoditas lainnya meningkat, bahkan sebagian besarnya dikembangkan di daerah luar Jawa. Pada masa ini, Negara Hindia semakin dirasionalisasi dan terpusat. Sementara kegiatan lainnya terus meluas. Pelayanan kredit rakyat, rumah gadai pemerintah, pelayanan informasi, peningkatan pertanian, peningkatan kesehatan, dan pengobatan untuk rakyat; pelayanan pos, telegraf, telepon, kereta api negara, sekolah pemerintah —semuanya itu adalah bagian-bagian dari aktivitas yang mulai berjalan. (Takashi, 1990: 36-37)
Situasi yang demikian turut mempengaruhi pula upaya yang dijalankan pejabat Belanda di bidang pendidikan. Meskipun terdapat dua aliran pemikiran. Salah satunya, pendapat Snouck Hurgronje dan direktur Pendidikan 'etis' pertama, J.H Abendanon. Dan, ya, nama pertama kita kenal sebagai seorang mata-mata, penipu orientalis. Dalam buku M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008, tercatat keduanya menginginkan pendidikan yang lebih bergaya Eropa dengan bahasa Belanda sebagai pengantarnya. Hal ini diasumsikan dapat melahirkan suatu elite pribumi yang tahu berterimakasih dan bersedia bekerja sama dalam menyongsong zaman pencerahan baru Belanda-Indonesia.
Namun, dalam pelaksanaan pembaharuan-pembaharuan tersebut, masih terdapat persoalan yang sifatnya struktural. Lulusan sekolah yang mengacu sistem pribumi tidak memiliki kesempatan untuk melompat ke dalam sistem pendidikan Eropa yang pararel —yang merupakan satu-satunya lembaga untuk menuju sekolah lanjutan. Persoalan lainnya, sekolah hanya peruntukkan bagi bangsa Indonesia dari golongan atas. Maka demikian, harapan elite Belanda untuk mencetak elite pribumi baru yang tahu terima kasih dan bersedia bekerja sama, harus dilupakan. Sebaliknya, muncul semangat baru yang berkobar-kobar di kalangan rakyat; semangat anti-penjajahan; yang dengan segera memperoleh alat kelembagaan untuk mengekspresikan kesadarannya. Dalam hal ini, merebaknya surat kabar yang dikelola Bumiputera sendiri bisa dijadikan bukti. Perkembangan surat kabar ini mempercepat penyebaran ide-ide baru mengenai organisasi, serta dikenalnya definisi-definisi baru yang lebih canggih ihwal identitas diri.
Selain itu, perkembangan yang demikian menampilkan kesadaran dalam wujud mutakhir lainnya: karya sastra, rapat umum, pemogokan, serikat buruh, partai, ideologi, dan pemberontakan terbuka; yang digaungkan sebagai simbol perubahan zaman. Perubahan besar-besaran dalam pranata kehidupan masyarakat Hindia ini dirumuskan —beberapa ilmuwan sejarah, salah satunya Takashi Shiraishi— sebagai zaman bergerak. Situasi demikian ditambah kemarahan rakyat yang mayoritas petani semakin lama kian tertekan oleh modernisasi birokrasi yang dilakukan pemerintah kolonial. Kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial sebelumnya, terutama mengenai kepemilikan tanah, pemungutan pajak dan kerja wajib, serta penggunaan tenaga bumiputera dalam birokrasi, bahkan telah mencekik rakyat lebih dulu yang kala itu sudah sekarat akibat musibah alam (meletusnya Gunung Krakatau sangat membekas dibenak rakyat Banten) dan munculnya wabah, salah satunya wabah Pes yang menyerang wilayah Timur Jawa.
Dalam kerangka yang lebih luas, konstelasi politik global saat itu juga membawa dampak besar. Selama kurun 1914-1918, terjadi Perang Dunia pertama yang terpusat di Eropa. Perang global ini menandai berakhirnya sistem monarki absolut di Eropa, juga memicu terjadinya berbagai gejolak perubahan. Di antaranya, revolusi Rusia, yang menginspirasi revolusi lainnya di negara lainnya, seperti Tiongkok.
Pada zaman bergerak, orang-orang bumiputera dituntut dapat berpikir lebih terbuka untuk mengubah tatanan sosial yang mapan. Dalam hal ini, misal, upaya memahami konsepsi dan pemaknaan yang mendalam dari berbagai wacana seperti Pan-Islamisme, Nasionalisme, dan Sosialisme. Pertarungan dialektik, penyatuan paham, dan adu argumentasi yang alot, juga muncul sebagai upaya membangun kesadaran orang banyak. Bersamaan dengan itu, orang-orang terpelajar Bumiputera mulai mempersoalkan Segregasi Sosial yang dimapankan sejak Regeeringsreglements 1854; peraturan yang berupa pemisahan ras menjadi tiga, sesuai dengan tingkatannya: Eropa, Timur Asing (Arab, Tionghoa, India, masuk kategori ini), dan Bumiputera. Segregasi ini berimplikasi pada kehidupan sosial di Indonesia yang sangat diskriminatif. Hirarki tertinggi hak istimewa berada dipihak kolonial, diikuti keculasan konstitusi dan penguasaan sumber daya ekonomi (kekayaan alam dimanfatkaan oleh kepentingan perusahaan asing, sedang industri pribumi tidak dikembangkan). Tampilnya kaum terpelajar ke permukaan itu menerbitkan pula gagasan menyoal konsepsi “Indonesia”.
Semula, kaum terpelajar hanya memaknainya sebagai representasi pemuda daerah. Akan tetapi pada akhirnya mengalah, dan ikut meleburkan dirinya dalam konsepsi persatuan yang lebih luas. Dengan demikian, mulai 1928, corak perjuangan pemuda berubah: dari corak kedaerahan menjadi corak kebangsaan. Mayoritas anggota kelompok yang menamakan Angkatan 28 itu berasal dari tiga tempat: Negeri Belanda (Perhimpunan Indonesia), Bandung (Studiclub) dan Jakarta (Perkumpulan Pelajar-Pelajar Indonesia). Yang dimaksudkan adalah “inti” dari Angkatan 28.
Dalam kelompok terpelajar itulah, selain nama-nama yang kita kenal selama ini semisal Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Soekirman, Mohamad Yamin, Amir Sjarifudin, muncul seorang yang bernama Abu Hanifah.
Abu Hanifah lahir di alam Minangkabau yang permai. Tepatnya di Nagari Bukit Surungun, Padang Panjang, pada tanggal 6 Januari 1906 Masehi atau tahun 1327 Hijriah. Ayahnya, Ismail gelar Datuk Manggung, adalah salah seorang guru bahasa Melayu di Bukittinggi. Bahasa Melayu, ketika itu telah dipergunakan hampir di seluruh Nusantara. Maka itu, ayah Abu Hanifah pernah menulis syair-syair Melayu, lalu diterbitkan oleh Balai Pustaka. Dan "Warisan" genetik inilah yang kemudian turun di kemudian hari kepadanya.
Saat menjalani kehidupan masa kanak-kanaknya, Abu Hanifah terbiasa berdisiplin dengan sangat ketat. Selain mendapat asupan ilmu umum, pendidikan agama Islam juga diterimanya di rumah, ditambah pada sore harinya belajar membaca AI-Quran di mesjid atau surau sebagaimana anak-anak Minangkabau lainnya. Kedisiplinan itu membuatnya dapat hidup seimbang setelah dewasa. Abu Hanifah sebagai anak sulung telah memberi contoh baik yang dapat diteladani oleh adik-adiknya: yang bungsu adalah Usmar Ismail, tokoh pembaharu dalam bidang Perfilman Nasional. (G.A. Ohorella, 1985: 13-14)
Abu Hanifah lulus Europeesche Lagere School (ELS) Bandung, pada tahun 1921. Setelahnya, lantas hijrah ke Batavia untuk melanjutkan sekolah di STOVIA. Sebagaimana yang disebut di muka, beliau juga aktif dalam pergerakan nasional; menjadi inti dalam angkatan-28 —yang menggelar Kongres Pemuda dan melahirkan Sumpah Pemuda. Saat menjalani kehidupan di Batavia, suasana disana saat itu membawanya pada pergumulan intelektual khas anak-anak muda zaman bergerak. Antara 1928 hingga 1931, Abu Hanifah tidak tinggal lagi di asrama STOVIA. Beliau indekos di sebuah rumah di Jalan Kramat No. 106 milik seorang Tiong Hoa bernama Sie Kong Liang. Para penghuni rumah membayar sekaligus sewa rumah, air, listrik, dan lain-lain. Dengan demikian rumah tersebut “dikuasai" penuh pemuda pergerakan yang dikenal sebagai kelompok lndonesische Clubgebouw (IC); yang membuat iklim intelektual di rumah ini amat hidup.
Perdebatan sengit terkadang terjadi apabila diskusi sudah mengenai arti revolusi seperti Revolusi Perancis, Revolusi Amerika, Revolusi di Rusia dan juga Revolusi Cina bahkan gerakan nasionalnya Gandhi dan kawan-kawannya di India. Aktivitas lndonesiche Clubgebouw saat itu tentu saja tak bisa jauh dari perdebatan terbuka mengenai soal politik hingga persoalan sehari-hari yang diikuti para penghuni dan pemuda lain. Sebagaimana ditulis dalam artikelnya "Revolusi Memakan Anaknya Sendiri: Tragedi Amir Syarifuddin": Kelompok IC, Angkatan 28, terdiri dari mereka yang tinggal di gedung Kramat 106, yang dinamakan Indonesis-Clubgebouw. Mereka ini umumnya terdiri dari mahasiswa-mahasiswa senior STOVIA dan pelbagai Sekolah Tinggi. Mereka termasuk yang bekerja keras dalam membereskan Kongres Pemuda ke dua, yang menghasilkan Sumpah Pemuda, lagu Kebangsaan Indonesia Raya, bendera Sang Merah Putih dan pengakuan nasional antara para pemuda bangsa.
"Perdebatan itu kadang-kadang begitu sengit dan bersemangat, sehingga menarik perhatian mahasiswa-mahasiswa yang sedang bersantai di bagian depan. Biasanya mereka menarik kursi-kursi dari depan dan turut mendengarkan perdebatan. Seringkali perdebatan tanpa program itu dihadiri oleh pemimpin-pemimpin pemuda lain, seperti Wongsonegoro, Jusupadi, atau Zainudin (STOVIA) dan banyak lagi. Sekali-kali Bung Karno mampir dan turut serta, kalau ia kebetulan berada di Jakarta. Saya kira mungkin banyak lagi mereka yang turut membikin sejarah Indonesia hadir dan aktif berdebat di IC. Saya ketahui, bahwa di luar kelompok IC ini ada kelompok-kelompok lain. Banyak di antara mereka kemudian masuk partai politik, umumnya PNI. Ada juga yang masuk partai-partai lain. Yang penting adalah perdebatan-perdebatan itu ternyata benar-benar mengasah otak kami. Ada satu ciri khas dalam berdebat, yang kemudian ternyata menjadi kebiasaan, yaitu sengitnya perdebatan, sekalipun dijalankan secara ilmiah. Sering karena tidak puas, esok harinya atau minggu itu juga kami mencari literatur ke Museum, buat memperkuat pendapat." (Abu Hanifah, Prisma No. 8, 1977)
Saat itu Abu Hanifah juga pemimpin redaksi Pemuda Sumatra yang giat menyebarkan gagasan persatuan Indonesia. Selainnya, beliau juga memimpin majalah Pemuda Indonesia, juga bertanggungjawab tentang isi majalah Indonesia Raya, majalah dari PPI. Ketika Kongres Pemuda II berlangsung, lewat pintu jurnalismenya, beliau banyak menulis dan melaporkan hasil-hasil kongres. Beberapa waktu setelahnya, mulai 1930, keadaan politik memburuk. Rezim saat itu semakin represif. Implikasinya, beliau harus berurusan dengan PID, Politieke Inlichtingen Dienst (Dinas Intelejen Politik) ketika dalam mingguannya terdapat tulisan-tulisan yang tajam. Dan setelahnya, sebagaimana kita tahu, adalah sejarah. Sebabnya, tanggal 3 September 1930, Bung Karno tertangkap, diadili dan dijatuhi hukuman 3 tahun. Pidato pembelaannya kemudian yang bertajuk Indonesia Klaaget aan (Indonesia menggugat) sangat dikenal.
Lanjut pada awal tahun 1932, Abu Hanifah menamatkan studinya dari STOVIA dan lulus sebagai Indische Arts (Dokter Hindia), kemudian ditugaskan di Medan. Dari sinilah ia memulai karirnya di Tanjung Morawa –sebuah kecamatan di Sumatera Utara, sebagai asisten Prof. Dr. Heinemman, seorang Jerman. Di Medan pula dokter Abu Hanifah memperdalam pengetahuannya di bidang penyakit dalam dan kandungan dari Prof. Heinemann yang memang ahli dalam bidang tersebut. Ia berpraktek sebagai dokter partikelir dan oleh karena itu ia sangat dekat dengan pasien-pasiennya yang terdiri atas kuli-kuli kontrak di perkebunan. Di sana pula ia berkenalan dengan kehidupan kuli-kuli dengan keinginan-keinginan serta segala penderitaannya.
Akan tetapi, meskipun resmi berprofesi dokter, jiwanya selalu ingin berjuang untuk rakyat banyak. Hal itu ditunjukkan dengan memperhatikan kesehatan para buruh terutama para wanita dan berusaha melemahkan sistem Poenale Sanctie, yakni suatu peraturan Pemerintah Belanda tentang pemberian legalitas kepada perbudakan rakyat. Peraturan itu berlaku sejak 26 Februari 1877 berdasarkan keputusan Parlemen Belanda. lsi peraturan Poenale Sanctie itu tidak lain adalah mempekerjakan kuli-kuli secara sewenang-wenang di perkebunan-perkebunan Belanda, baik di Hindia Belanda maupun di luar negeri seperti di Suriname dan Caledonia. Para kuli itu diikat dengan peraturan-peraturan yang ketat, sehingga tidak dapat mogok ataupun melarikan diri. Peraturan Poenale Sanctie yang begitu mengikat itu masih ditambah lagi dengan suatu peraturan yang disebut "Koeli Ordonansi", yaitu apabila seorang kuli melarikan diri karena perlakuan-perlakuan yang tidak baik dari majikan atau mandor perkebunan, ia akan dicari dan ditangkap polisi dan selanjutnya dijatuhi hukuman. Sesudah menjalani hukuman, ia akan dikembalikan lagi ke perkebunan dari mana ia lari. Oleh sebab itulah secara diam-diam Dr. Abu Hanifah berjuang bersama beberapa pemimpin Syarikat Islam di Medan untuk menunjang tuntutan penghapusan Poenale Sanctie. Usaha itu sebelumnya pernah dilancarkan oleh Moh Yamin kepada parlemen Belanda tertanggal 17 Oktober 1917, tetapi sampai Proklamasi 17 Agustus 1945 tidak pernah secara resmi Poenale Sanctie itu dicabut.
Beberapa tahun setelah Dr. Abu Hanifah bekerja sebagai assisten Prof. Heinemann di Medan, ia dipindahkan ke daerah pedalaman Sumatra Tengah, yaitu di Kabupaten Indragiri yang beribukota Teluk Kuantan. Daerah ini merupakan daerah perkebunan karet yang sangat kaya, terdiri atas maskapai-maskapai perkebunan Belanda dan ada juga perkebunan rakyat. Ketika Dr. Abu Hanifah mulai bertugas di sana, rakyat daerah itu sangat terbelakang dalam hal pendidikan dan kesehatan. Tetapi dalam soal materi mereka kaya karena karetnya. Penyakit rakyat sangat bermacam-macam di daerah ini mulai dari malaria dari pelbagai tingkatnya, patek, disentri, tuberculose, cacing tambang dan lain-lain yang perlu perhatian istimewa dari para dokter. Penyakit-penyakit itu merupakan epidemi yang menahun, karena rakyat belum percaya pada pengobatan cara Barat selain pil kina dan aspirin.
Di daerah lndragiri banyak terdapat "dukun-dukun kampung" (dalam masyarakat sunda, barangkali hal ini dikenal dengan istilah Paraji). Dr. Abu Hanifah berupaya kompromi dengan mereka dan kemudian memberi petunjuk mengenai kebersihan dan kesehatan. Bagi yang menyunatkan anak-anak, diberi petunjuk agar supaya alat-alat yang akan digunakan terlebih dahulu direbus sampai mendidih. Begitu juga bagi yang menolong persalinan, diberi pengetahuan higienis dan kebersihan, bahkan diberi kursus untuk menolong orang sakit di kampung-kampung yang jauh dari Kota Teluk, yang hanya dapat ditempuh melalui jalan darat atau sungai berhari-hari lamanya.
Dr. Abu Hanifah juga mengadakan kursus juru rawat dan bidan bagi pemuda-pemudi yang dapat menulis dan membaca, dengan pertimbangan bahwa mereka itu kelak akan mewarisi kepandaian dan keterampilan orang tuanya kelak. Selain kursus-kursus sosial yang sudah dijalankan, Dr. Abu Hanifah dengan dibantu oleh istrinya juga mendirikan sebuah sekolah dasar Schakelschool dan sebuah HIS partikelir. Dengan bantuan masyarakat lndragiri, Dr. Abu Hanifah juga mendirikan sebuah mesjid di mana beliau sendiri dan beberapa ulama sering berkhotbah di sana. Segala usaha yang telah dijalankan itu mengakibatkan rakyat sangat dekat dan sangat menghormatinya, baik ia sebagai seorang dokter maupun sebagai pribadi muslim. Mengenai pengetahuan agama Islam, Dr. Abu Hanifah memang mempunyai dasar yang kuat, dan sewaktu di Medan beliau banyak belajar dari ulama terkemuka di sana.
Beberapa waktu setelahnya, keadaan memasuki zaman Revolusi, yang berimplikasi pada kehidupan karir Dr. Abu Hanifah. Profesi dokternya yang telah dijalani selama kurang lebih 15 tahun terpaksa ditinggalkan. Ia ikut berjuang dalam dunia perpolitikan bersama seluruh bangsa untuk menentang kembalinya kolonialisme Belanda ke Indonesia. Pada tahun 1947 Dr. Abu Hanifah menggabungkan diri dalam Partai Masyumi. Sejak itu pula ia menjadi salah seorang pemimpin pusat partai tersebut, dan dengan demikian ia memulai karirnya sebagai seorang politikus. Dalam rapat paripurna KNIP yang diselenggarakan di Malang pada tanggal 25 Februari sampai 5 Maret 1947, Dr. Abu Hanifah bertindak sebagai ketua fraksi. Dalam tahun 1948, terjadi Peristiwa Madiun dan kemudian Aksi Militer Belanda ke-2, di mana Dr. Abu Hanifah tertangkap lagi oleh Belanda. Setelah Dewan Keamanan PBB mencampuri urusan Indonesia - Belanda, para pemimpin RI dikembalikan ke Yogyakarta. Terjadi kembali perundingan antara Indonesia dan Belanda yang diteruskan ke Konperensi Meja Bundar di Den Haag.
Saat itu Dr. Abu Hanifah diangkat sebagai penasihat Kabinet Hatta. Dalam perundingan Indonesia - Belanda di Jakarta sebelum KMB, delegasi Indonesia diketuai oleh Mr. Susanto, sedangkan Dr. Abu Hanifah menjadi wakil ketua delegasi. Setelah pengakuan Kedaulatan RI oleh pihak Belanda, dibentuklah Negara RIS. Kabinet pertama dipimpin oleh Perdana Menteri Dr. Moh. Hatta yang juga telah menunjuk Dr. Abu Hanifah sebagai menteri pendidikan pengajaran dan kebudayaan.
Demikianlah Dr. Abu Hanifah, yang dapat menggunakan privelese-nya dengan baik dan benar. Selain tokoh perintis kemerdekaan, beliau juga adalah dokter, filsuf, sastrawan, jurnalis, dramawan, politikus, diplomat, pelukis, kolumnis, sekaligus pemikir politik. Yang terakhir ini, dibuktikan dengan salah satu prinsip utama partainya yang menegaskan bahwa 'UPAH PEKERJA HARUS SAMA NILAINYA DENGAN NILAI SOSIAL KERJA YANG DILAKUKAN!'. (George Kahin, 1995: 394-395)
Latar belakangnya dari keluarga Islam taat yang kemudian bergelut dengan bermacam gagasan modernitas, turut membentuk pribadi yang memiliki daya tahan dalam menekuni berbagai ranah keilmuan. Dan yang fundamental, privilese yang ditakdirkan untuknya itu tidak lantas membuat kiprah beliau terhenti dalam mengenyahkan ketidakadilan yang menimpa rakyat kebanyakan. Penjelasan di muka saya rasa cukup untuk membuktikan bagaimana peran Dr. Abu Hanifah, yang pada akhirnya mengalihkan perjuangannya dalam mengubah struktur kekuasaan. Sebabnya, sejak lama beliau sadar bahwa privilese adalah perkara sistemik yang terjadi secara struktural.
———
Sumber:
Kahin, George Mcturman. 1995. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Surakarta: UNS Press.
Ohorella, G.A. (1985) PROF. DR. Abu Hanifah DT. M.E. karya dan pengabdiannya. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.
Shiraishi, Takashi. 1997. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Di Jawa 1912-1926. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: Serambi.
Razif. 2008. Bacaan Liar: Budaya dan Politik pada Zaman Pergerakan. http://members.fortunecity.com/edicahy/
“Revolusi Memakan Anak Sendiri: Tragedi Amir Sjarifudin" yang dimuat di jurnal Prisma (8 Agustus 1977),
Comentários