Oleh : Yogi Esa Sukma Nugraha
Ada sebuah fenomena masif dari musik belakangan yang menjadi kekuatan politik. Hal itu terjadi pada 2014. Ketika para musisi Tanah Air berbondong-bondong mendukung masing-masing calon presiden. Dua kubu sempat terpecah, sejumlah musisi mendukung pasangan Calon Presiden (Capres) Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) dan sejumlah musisi lainnya mendukung capres Prabowo Subianto-Hata Rajasa.
Slank, grup band yang berasal dari Gang Potlot menjadi garda depan. Mereka secara terbuka mendeklarasikan dukungannya ke Jokowi. Sementara pentolan grup Band Dewa 19, Ahmad Dhani mendukung capres dari Partai Gerindra, Prabowo Subianto. Slank tidak sendiri, sejumlah musisi juga menyatakan dukungannya untuk Jokowi antara lain Giring Nidji, Roy Jeconiah (eks personel Boomerang), Erwin Gutawa, Ian Antono personel God Bless, Opie Andaresta, Joe personel band Saint Loco dan lain-lain.
Sebetulnya, dulunya Slank dikenal sebagai salah satu grup musik yang sering menciptakan lagu kritik terhadap perpolitikan Indonesia, terutama domain legislatif. Hal itu menjadikan Slank beberapa kali mengalami gesekan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
Akan tetapi, setelah saya tinjau dan pikirkan lebih lanjut lagi, pokok persoalannya sudah kehilangan relevansi. Bahkan yang bersangkutan kini berada di barisan yang kerap mengkriminalisasi aktivis hari ini. Dengan lain perkataan, kini yang bersangkutan dekat dengan kekuasaan maksimal; yang melampaui saat mereka dalam posisi menjadi korban. Pasalnya, kekuasaan sekarang secara aktif turut memobilisasi politik identitas (bertabrakan dengan prinsip peace, love, unity, and respect!) yang membuat warga terbelah. Juga terkesan dengan mudah menggunakan cara-cara represif untuk membungkam oposisi, serta makin terang-terangan memanipulasi hukum guna memfasilitasi kepentingan predatorisme.
Hal ini dipertegas dengan banyaknya pakar politik liberal yang memuji demokrasi Indonesia terutama pada periode 2005 hingga 2014 sebagai demokrasi yang stabil dan punya masa depan menjanjikan. Padahal dari awal reformasi, tidak banyak yang berubah selain bahwa kontestasi kekuasaan elite menjadi lebih kompetitif. Hukum hampir tak pernah berdiri tegak, kecuali untuk penguasa. Korupsi makin merajalela, kekerasan dan premanisme masih menjadi bagian penting dalam kehidupan sosial-politik warga.
Kendati musik bisa menjadi kekuatan politik, tidak semua musisi sepakat untuk turut berpolitik (praktis). Bahkan dalam sejarah perkembangan bangsa Indonesia, kekuasaan dan seni acapkali menjadi dua hal yang kerap menimbulkan konflik. Di era Orde Lama, musik-musik pop Barat juga jadi barang haram. Sukarno menjulukinya lagu ngak ngik ngok ngik ngok ngik ngok dan di lain waktu disebut musik setan. Bukan The Beatles atau bahkan Elvis Presley yang secara langsung datang, tapi Koes Bersaudara yang pernah membawakan lagu Beatles, "I Saw Her Standing There", dalam sebuah pertunjukan dan akhirnya masuk sel selama tiga bulan.
Berlanjut pada Orde Baru, penguasa saat itu juga kerap membatasi ruang gerak para seniman dalam mempertunjukkan karyanya. Hal tersebut bukan tanpa sebab, pasalnya seni atau khususnya musik, tidak hanya bersifat estetis, tetapi juga berfungsi sebagai kritik sosial terhadap apa yang tengah terjadi di masyarakat.
Tak ayal beberapa seniman Indonesia yang berkarya selama orde baru juga kerap mengalami intimidasi, pemberedelan, dan pembubaran secara paksa. Sebut saja seperti Iwan Fals yang pernah merasakan betapa beratnya berkesenian di masa orba. Pengalaman panjang yang terjadi selama pra-reformasi 1998, yang berkaitan dengan pembredelan, pencekalan, dan pembubaran paksa terhadap suatu karya seni, tentu bisa menjadi pelajaran yang paling berharga dalam perkembangan demokrasi di Indonesia kiwari.
Dengan demikian, persoalan yang layak direnungkan setelah Indonesia berada di era reformasi seperti sekarang —setelah polemik RUU Permusikan berhasil dicabut dari prolegnas: siapa yang bisa menjamin pemberedelan, pencekalan, dan pembubaran terhadap kegiatan seni tidak akan terjadi lagi?
Musik Sebagai Medium Kritik
Menurut Aristoteles (328-322 SM), musik adalah sesuatu yang dapat dipakai untuk memulihkan keseimbangan jiwa yang sedang goyah, menghibur hati yang sedang goyah dan merangsang rasa patriotisme dan kepahlawanan. Sedangkan seni musik adalah suatu tiruan seluk beluk hati dengan menggunakan melodi dan irama.
Musik terlahir karena ada pesan yang hendak disampaikan oleh pemusik. Pemusik mempunyai ide, gagasan, atau pengalaman yang hendak disampaikan kepada orang lain melalui musik. Sementara itu, orang lain bisa menerima musik tersebut bukan semata-mata karena musik tersebut sudah dibuat dan siap dinikmati. Beberapa mengasumsikan kebutuhan yang terpenuhi dengan menikmati musik.
Selain itu, dalam upaya mengungkapkan ide-ide, pemusik yang mampu mengungkapkan wacana perubahan sosial biasanya adalah pemusik yang kritis. Lirik Lagu merupakan ekspresi seseorang tentang suatu hal yang sudah dilihat, didengar maupun dialaminya.
Sementara kata kritik bermakna: suatu penilaian yang dikemukakan baik dalam bentuk tulisan maupun lisan tentang suatu hal. Dan sosial: suatu hal berkenaan dengan perilaku interpersonal, atau berkaitan dengan proses sosial, (Soerjono Soekanto, 1993: 464). Dengan demikian, kritik sosial dipahami sebagai sebuah bentuk komunikasi yang dikemukakan baik dalam bentuk tulisan maupun lisan, berkenaan dengan masalah interpersonal, serta bertujuan mengontrol jalannya sistem sosial.
Berbicara masalah kritik sosial, tentu saja tidak bisa dilepaskan dari aliran Frankfurt, terutama generasi kedua dari kelompok ini (Hardiman, 1990: 70-80). Pemikiran-pemikiran kritis aliran ini dinamakan teori kritis atau kritische theorie. Menurut Budi Hardiman konsep kritik di antaranya mencakup:
a. Sikap Kritik Sebagai Praksis Emansipatoris
Salah satu yang paling digemari oleh aliran Frankfurt dengan teori kritisnya adalah praksis emansipatoris. Sebagaimana para filsuf pencerahan sebelumnya, kritisisme teori kritis ini terletak pada obsesi para filsuf tersebut untuk menjadi aufklarung, yaitu ingin menyikapi kenyataan sosial, dengan membuka kedok-kedok ideologis dalam segala hal, (Sobur, 2004: 143). Dengan kritik ideologi tersebut diharapkan munculnya manusia yang sadar akan penindasan atas dirinya dan mau bergerak membebaskan diri.
b. Paradigma Komunikasi Sebagai Dialog Komunikatif yang
Menghasilkan Pencerahan.
Maksud paradigma komunikasi ini adalah memahami praksis emansipatoris sebagai dialog dan tindakan komunikatif yang menghasilkan pencerahan.
Kritik sosial terdiri dari dua istilah yakni dari kata kritik dan sosial. Kritik, dalam (kamus besar Bahasa Indonesia) dijelaskan bahwa kritik berarti kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk suatu hasil karya, pendapat dan sebagainya.
Dalam bentuknya, kritik sosial dapat dikelompokkan berdasarkan pengekspresiannya dalam dua jenis, yakni kritik yang dilakukan secara terbuka dan kritik yang dilakukan secara tertutup atau terselubung.
1. Kritik sosial secara terbuka berarti kegiatan penilaian, analisis atau kajian terhadap keadaan suatu masyarakat tertentu yang dilakukan secara langsung.
2. Kritik sosial yang dilakukan secara terselubung dapat berupa tindakan-tindakan simbolis yang menyiratkan penilaian maupun kecaman terhadap keadaan sosial suatu masyarakat secara tidak langsung.
Lagu Bento karya Iwan Fals misalnya, merupakan kritik sosial yang berupa tindakan-tindakan simbolis yang menyiratkan penilaian maupun kecaman terhadap keadaan sosial suatu masyarakat secara tidak langsung. Kritik terhadap penguasa/eksekutif pada masa Orde Baru. Di dalam karya ini juga berisikan tentang kritik-kritik terhadap pejabat-pejabat yang menggunakan kedudukannya untuk memperkaya diri sendiri.
Mereka ditampilkan sebagai orang-orang yang menikmati kue pembangunan, punya banyak uang, punya harta dan rumah mewah, punya jabatan tinggi, berkuasa, bisa berbuat semaunya, hidup enak dan nyaman. Mereka asyik dengan kenikmatan hidupnya sendiri, dan tidak peduli dengan hidup orang lain yang ditindas atau menjadi korban aksi manipulasi. "Yang penting asyik. Sekali lagi. (Asyik!)"
Yang mengagumkan, lagu ini dibuat setahun setelah Harmoko Menteri Penerangan mengkritik lagu "Hati Yang Luka" Betharia Sonata, yang olehnya dikategorikan lagu cengeng. Saat itu dengan tegas Harmoko mengatakan: “Stop lagu-lagu semacam itu." Maksudnya: stop lagu cengeng. (https://www.google.com/amp/s/amp.tirto.id/sejarah-pelarangan-lagu-cengeng-zaman-orde-baru-dfkV)
Dalam acara perayaan ulang tahun TVRI ke-26 pada 24 Agustus 1988 yang dimeriahkan musik-musik ceria, sebagai Menteri Penerangan, laki-laki pengganti Ali Murtopo itu berpidato tentang lagu-lagu cengeng yang menghambat pembangunan nasional. Lagu-lagu yang cengeng dianggap tidak bisa menumbuhkan semangat kerja. Padahal lagu itu terbilang legendaris, dan laris di pasaran. Masyarakat Indonesia yang hidup di antara akhir 1980-an hingga 1990-an banyak yang kenal liriknya:
“Pulangkan saja aku pada ibuku atau ayahku..."
Lagu itu juga pernah dipelesetkan dalam film Warkop DKI Godain Kita Dong (1989). Sudah tentu menjadi kocak. Dalam film itu, reff-nya berubah: “Pulangkan saja aku ke Amerika atau Alaska."
Jika lagu cengeng saja dilarang, bisa dibayangkan raut wajah Harmoko apabila mendengarkan lagu Bongkar misalnya?
Yang Setia Dalam Temaram Keberpihakan
Iwan Fals yang bernama lengkap Virgiawan Listanto (lahir di Jakarta, 3 September 1961) adalah seorang penyanyi beraliran balada yang menjadi salah satu legenda hidup di Indonesia yang akan mengantarkan kita pada suatu isu yang hendak coba disuarakan oleh mereka yaitu tentang kritik sosial.
Iwan Fals dikenal sebagai salah seorang seniman garda terdepan melawan penindasan yang dilakukan rezim represif Soeharto pada dekade 80-an. Lagu Iwan Fals merupakan lagu-lagu yang sangat popular di jamannya dan mampu menyedot perhatian dari berbagai kalangan. Lagunya kebanyakan bercerita tentang rakyat dan pemerintahan yang berjalan di Indonesia. Iwan Fals kerap kali menjadi musisi yang tidak memiliki hubungan baik dengan Soeharto. Ia berulangkali mendapatkan ancaman, dijebloskan ke penjara dan konsernya yang dibatalkan secara sepihak oleh pihak keamanan (http://iwanfals.net/karir-iwan-fals/profil-iwan-fals/).
Berikut beberapa lagu yang bernada kritik terhadap Hegemoni Rezim karya Iwan Fals.
1. Sarjana Muda Sarjana Muda / 1981 Kritik terhadap menyempitnya lapangan kerja.
2. Galang Rambu Anarki Opini / 1982 Kritik terhadap kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat.
3. Wakil Rakyat Wakil Rakyat / 1987 Kritik terhadap anggota dewan yang tidak memperjuangkan hak-hak rakyat.
4. Bongkar SWAMI / 1989 Kritik terhadap penguasa yang otoriter.
Untuk yang terakhir, sebagaimana judulnya. Lagu ini bak dinamit yang bisa meledak, membongkar pagar besi, pintu tebal yang tak tertembus. Dalam esainya yang berjudul "10 Lagu Protes Lokal Terbaik", Herry Sutresna a.k.a Ucok Homicide bahkan menekankan bahwa Bongkar adalah salah satu lagu protes paling hebat di Indonesia. Lebih lanjut, beliau memuji Iwan Fals yang memiliki intuisi cantik dan nyali menulis dan melempar lagu yang menyerukan pemberontakan di tengah rezim yang sedang kuat-kuatnya menjajah. Lagu ini bisa ditemukan di tengah demonstrasi manapun sejak ia dirilis, dari aksi di Semanggi hingga pemogokan pabrik tekstil di Cibabat, di penggusuran PKL hingga penolakan kooptasi lahan di Bandung Utara.
"Ternyata kita harus ke jalan/ Robohkan setan yang berdiri mengangkang".
This is an ultimate riot folk song. Dengan latar belakang protes atas penenggelaman sebuah desa untuk kepentingan pembuatan waduk di Kedung Ombo, konon lirik lagu ini sudah mengalami pengeditan setelah Iwan diyakini anggota Swami lain dan kerabatnya untuk mengubahnya agar bisa tetap dirilis. Meski sedikit mengherankan bahwa Iwan Fals yang menulis lirik tajam ini belakangan muncul di iklan kopi sambil menyeru ‘Bongkar!’ tiga kali, yang artinya direduksi olehnya sendiri menjadi lawakan komersil.
Lagu lainnya yang menginspirasi, bahkan memprovokasi, adalah band hardcore asal kota kembang, Jeruji – Fuck Off Police. Lagu punk 3 chord dengan lirik terdiri dari tiga kata “Fuck Off Police!” diulang-ulang. Sebetulnya semua orang bisa membuatnya, yang membedakan adalah nyali melakukannya di era Indonesia dijajah fasis orba. Selain "hanya ada satu kata, Lawan!" saduran puisi Widji Thukul, lagu ini juga salah satu yang popular di skena musik bawah tanah Bandung era lampau.
Jauh sebelumnya, ada The Gang of Harry Roesli – Malaria. Dengan potongan lirik provokatif; “Apakah kau seekor monyet yang hanya dapat bergaya/ Kosong sudah hidup ini bila kau hanya bicara/ Lantai kamarmu kan berkata mengapa Nona pengecut?”.
Yang beririsan, ada Iwan Abdurrahman – Mentari. Lagu ini lahir dalam bentuk balada melankolis. Dengan latar belakang pembangkangan mahasiswa yang massif tahun 1977-1978 yang menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai Presiden termasuk mencela kebijakan pembangunanisme-nya, kebijakan utang luar negeri, serta proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah. Soeharto meresponnya dengan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan) yang menempatkan militer menduduki kampus-kampus dan para aktivisnya dibui. Sebagaimana penjelasan Ucok, Abah Iwan Abdurrahman menuliskan lagu ini bagi mereka yang berada di garis depan dan dipenjarakan. Namun menurutnya hari ini rezim tak perlu militer untuk menjinakkan perlawanan dari kampus, cukup mengetatkan waktu studi dan sederet peraturan akademis untuk merubah mahasiswa menjadi robot. Dengan sinisme yang khas, Ucok menyebut bahwa aktivisme politik mahasiswa hari ini paling banter menjadi cunguk elit para senior mereka yang bertebaran jadi pedagang politik di luar sana. Berikut petikan liriknya:
"....Mentari menyala disini
Di sini di dalam hatiku
Gemuruhnya hingga di sini
Di sini di urat syarafku
Meskipun tembok yang tinggi mengurungku
Berlapis pagar duri di sekitarku
Tak satupun yang sanggup menghalangiku
Menyala di dalam hatiku
Hari ini hari milikku
Juga esok masih terbentang
Dan mentari kan tetap menyala
Di sini di dalam hatiku…"
—
Memasuki era reformasi, sekelompok grup musik asal Bali melahirkan lirik dengan latar belakang bahwa maraknya kasus korupsi di Indonesia yang dilakukan oleh para pengusaha – penguasa yang seharusnya menjadi panutan bagi rakyatnya. Maraknya kasus tersebut juga dilatari beberapa faktor, salah satunya adalah masih lemahnya hukum di Indonesia, yang mana hukum sebagai landasan suatu negara dapat diperjualbelikan atau dipermainkan oleh oknum-oknum tertentu demi kepentingan pribadi seseorang. Berikut petikan liriknya yang berjudul mafia hukum:
"...Mafia hukum, hukum saja
Karena hukum tak mengenal siapa
Mafia hukum, hukum saja
Karena hukum tak mengenal siapa
Mau lawan mereka, hati-hati saja
Karena mereka dijaga buaya
Buaya-buaya piaraan mafia
Mafia-mafia isinya pengusaha
Pengusaha-pengusaha kongsi dengan penguasa
Walau sudah kaya masih kurang juga
Hukum direkayasa hanya buat yang kaya
Yang jadi korbannya rakyat jelata.."
—
Dan untuk yang satu ini, barangkali kawan-kawan juga sudah tidak asing lagi. Ada Efek Rumah Kaca (selanjutnya disingkat ERK), yang merupakan grup musik yang banyak menuangkan ekspresi, ide, serta gagasan mengandung kritik sosial mengenai eksistensi kemanusiaan, budaya, politik, kekuasaan.
Lirik lagu-lagu ERK sebagian besar berisi kritik terhadap gambaran sisi gelap kehidupan manusia di masyarakat yang dituangkan dengan bahasa sederhana, tetapi berkualitas tinggi jika dipandang sebagai karya seni. Hal inilah yang menjadi daya tarik para periset dalam menganalisis lagu ERK yang merupakan cerminan dari kehidupan masyarakat saat ini: meliputi aspek moral, pendidikan, kemanusiaan, politik, alam, serta kritik sosial.
Berikut interpretasi beberapa lirik lagu Efek Rumah Kaca.
a. Kritik terhadap Kekuasaan
Kritik sosial terhadap kekuasaan tampak pada lirik lagu yang berjudul “Kau dan Aku Menuju Ruang Hampa” dan “Mosi Tidak Percaya”. Lirik lagu “Kau dan Aku Menuju Ruang Hampa” adalah salah satu karya Efek Rumah Kaca yang berisi kritik terhadap realita sosial berupa penyalahgunaan kekuasaan, penyimpangan terhadap hak asasi manusia, dan pemaksaan kehendak. Sedangkan lirik lagu “Mosi Tidak Percaya” juga merupakan lagu ciptaan Efek Rumah Kaca yang berisi kritik terhadap masalah kekuasaan. Potret realita sosial mengenai ketidakpercayaan masyarakat terhadap para pemimpin negeri ini karena hasil kerja mereka yang hingga saat ini tidak ada kemajuan, bahkan justru menunjukkan keburukan yang semakin parah. Berikut petikan liriknya:
"... Kamu ciderai janji
Luka belum terobati
Kami tak mau dibeli
Kami tak bisa dibeli
Ini mosi tidak percaya jangan anggap kami tak berdaya
Ini mosi tidak percaya kami tak mau lagi diperdaya..."
Kabar baiknya, ya, para personel ERK tidak hanya jadi suporter di pinggir lapangan. Mereka terlibat dalam beragam aksi protes terhadap kebijakan penguasa. Bahkan tidak hanya sekadar ikut aksi, Cholil turut sumbang saran untuk mengonsolidasi gerakan. Sehari setelah peluit gelombang aksi dibunyikan, Cholil sempat bertemu dengan aktivis dari sejumlah elemen masyarakat sipil dan kalangan mahasiswa di kawasan Kuningan, Jakarta. "Saya ada di pertemuan itu. Kala itu, mereka melakukan konsolidasi karena mau ada aksi. Itu tanggal 24 (September 2019), tapi enggak banyak. Cuma mau ada konsolidasi sama teman-teman dari YLBHI, ICW, PSHK, dan beberapa musisi," Ucap Cholil. (https://www.alinea.id/politik/reformasi-dikorupsi-dan-geliat-musisi-indie-di-pusaran-aksi-b1ZG69qQo)
Setelah unjuk rasa mereda, Cholil tak berhenti "berjuang". Dari jalanan, Cholil beralih ke panggung diskusi. Bersama rekan-rekannya, Cholil rutin menggelar diskusi publik membahas aksi "Reformasi Dikorupsi" dan ekses UU KPK baru. Musisi lain seperti Iksan Skuter, Danto Sisir Tanah, Jason Ranti, Rara Sekar dan para penggawa Tashoora juga turut diajak terlibat dalam rangkaian diskusi bertema "Mendesak tapi Santuy" itu. Seperti Cholil, mereka ialah musisi yang teguh menapaki jalur indie.
b. Kritik terhadap Modernitas
Kritik sosial terhadap modernitas terdapat pada lirik lagu “Kenakalan Remaja di Era Informatika” dan “Banyak Asap di Sana”. Lirik lagu “Kenakalan Remaja di Era Informatika” berisi kritik terhadap penyalahgunaan kemajuan teknologi di zaman modern. Lirik lagu ini menggambarkan wujud kebodohan dan keterbelakangan moral yang ada di dalam diri remaja Indonesia saat ini. Lirik lagu yang juga berisi kritik terhadap masalah modernitas, yaitu lagu “Banyak Asap di Sana”. Lirik lagu ini menggambarkan kritik terhadap realita sosial yang berupa meningkatnya kegiatan perpindahan penduduk dari desa ke kota secara besar-besaran. Sementara lagu ‘Cinta Melulu’, adalah lagu kritik yang ditujukan kepada industri musik. Dalam kerangka luas, menembak format ekonomi pasar.
c. Kritik terhadap Sosial Budaya
Kritik terhadap realita sosial budaya tampak pada lirik lagu “Jangan Bakar Buku”. Dalam lirik lagu ini, penulis lagu menyampaikan kritik terhadap sikap masyarakat yang semakin tidak peduli dengan pemanfaatan buku. Di bait pertama, lagu ini jelas sekali menyampaikan pentingnya membaca. Dengan membaca tentu akan menambah wawasan kita dan banyak ilmu yang kita gali. Kita bisa mengenali tokoh yang kita senangi dengan membaca buku dan mengenal lebih sisi lain hidupnya di tokoh itu. Lagipula, membaca tidak membuat kita rugi.
Bayangkan, banyaknya peristiwa yang kita tidak ada di kejadian waktu itu, bisa kita ketahui dengan membaca. membaca juga berarti juga mencerahkan, menerangi sisi gelap peristiwa yang kita belum tahu. Ini merupakan sebuah upaya untuk Reformasi Kebudayaan. Ajakan untuk tak meninggalkan buku. Pesan kedua jelas lebih menusuk, kata demi kata yang mampu membuat kita berfantasi dan menerawang jauh akan hilang. Kita tak bisa lagi membuat fantasi jika buku-buku itu kita bakar. Kita seperti mati rasa jika tak membaca bait demi bait atau lembar demi lembar karena kita membakar sesuatu yang bisa membuka pandangan kita: buku. Pesan terakhir yang ingin disampaikan oleh ERK adalah sebuah kritik. Sebuah ungkapan kesal jika buku-buku dihanguskan dan dibredel. Seperti kita tahu pemerintah dan kelompok tertentu kerap mengatur buku-buku tertentu dan menyekat peredarannya. Sungguh sebuah ironi. Dan akan menyedihkan jika menghabiskan hidup di bawah sekelompok elit berwatak anti-intelektual. Saat tulisan ini dibuat, bahkan beredar kabar bahwa lembaga Eijkman, yang telah lama berkiprah dalam studi penelitian biologi molekuler, "diintervensi" oleh pemangku kebijakan. Apakah akan membawa arah kebaikan atau sebaliknya? Wallahua'lam bishawab.
d. Kritik terhadap Kerusakan Alam
Kerusakan alam dan lingkungan merupakan fenomena yang
menimbulkan dampak sangat buruk, tidak hanya bagi manusia, tetapi juga bagi seluruh makhluk hidup di bumi ini. Kritik terhadap kerusakan lingkungan dalam album Kamar Gelap ini terdapat pada lirik lagu yang berjudul “Hujan Jangan Marah”. Kritik dan pesan yang disampaikan dalam lirik lagu ini adalah kita sebagai manusia seharusnya memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap kelestarian alam dan lingkungan untuk kelangsungan hidup yang lebih baik. Jauh sebelumnya, ada kelompok musik asal Bandung, The Rollies, pada akhir era 1970-an merilis tembang "Kemarau" yang sarat pesan lingkungan. Lagu itu seolah menyodorkan prediksi terkait apa yang terjadi saat ini, ketika pemanasan global benar-benar terjadi. Indikasinya, fenomena krisis iklim ini sejatinya sudah dilihat musisi sejak lama, bahkan jauh sebelum Coldplay yang belakangan aktif dalam isu perubahan iklim.
—
Sebagai penutup, dan yang paling fenomenal, tentu saja Di Udara. Pada dasarnya lagu ini mengangkat pembunuhan sistematis almarhum Munir yang dilakukan oleh negara. Namun Cholil, Adrian dan Akbar menulis lagu ini dengan kekuatan lirik yang seolah memberikan dosis nyali pada siapa-siapa yang sedang beroposisi menantang tirani. Ia bercerita tentang kekuatan tekad dan keyakinan yang tidak bisa dibungkam oleh apapun, termasuk oleh terror dan kekuatan militeristik. Berikut petikan liriknya yang sarat ketajaman pikiran:
"...Aku sering diancam
Juga teror mencekam
Ku bisa dibuat menderita
Aku bisa dibuat tak bernyawa
Di kursi-listrikkan ataupun ditikam
Ku bisa dibuat menderita
Aku bisa dibuat tak bernyawa
Di kursi-listrikkan ataupun ditikam
Ku bisa tenggelam di lautan
Aku bisa diracun di udara
Aku bisa terbunuh di trotoar jalan
Tapi aku tak pernah mati
Tak akan berhenti…"
——————
https://tirto.id/simbiosis-asyik-musik-dan-politik-boaN
https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/tekno/read/2008/04/07/18272845/slank-kami-cuma-nyanyikan-gosip-jalanan
https://jurnalruang.com/read/1509428016-musik-bawah-tanah-nyali-menantang-tirani#
https://news.detik.com/berita/d-241357/diteror-istri-munir-tak-gentar
https://pophariini.com/5-lagu-pop-indonesia-pilihan-cholil-efek-rumah-kaca/
http://iwanfals.net/karir-iwan-fals/profil-iwan-fals/
https://www.alinea.id/politik/reformasi-dikorupsi-dan-geliat-musisi-indie-di-pusaran-aksi-b1ZG69qQo
Francisco Budi Hardiman. 1990. Kritik Ideologi, Pertautan antara Pengetahuan dan Kepentingan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Soerjono, Soekanto. 1993, Kamus Sosiologi. Raja Grafindo. Persada, Jakarta.
Sobur, Alex. 2002, Analisis Teks Media Suatu Analisis untuk Wacana, Analisis Semiotika dan Analisis Framing. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Kommentare