top of page
Search

Upaya Menggugat Teori Konspirasi dan pasca-kebenaran

Writer's picture: Bem UnipiBem Unipi

oleh: Yogi Esa Sukma Nugraha*


Yang kita butuhkan adalah kesetiaan merawat cita-cita bersama karena bangsa Indonesia adalah proyek politik yang belum dan tidak akan pernah selesai, sambil tetap membuka ruang kemungkinan untuk koreksi, sehingga bisa terus menerus difalsifikasi. (Amin Mudzakkir) [1]


***


Kita hadir setelah begitu banyak hal terjadi, selama lebih dari ratusan ribu tahun, di dunia ini. Dan untuk memahami hal-hal baru, yang ada di hadapan, alangkah penting mempelajari peristiwa-peristiwa dari masa sebelum kita lahir. Suatu premis historis ini setidaknya bisa memberi dorongan pada kita yang sedang goyah dalam kewajiban menggali naskah-naskah.


Dan seandainya sejak kecil mendengarkan petuah bijaksana dan cara berpikir sejarah yang menasihati dengan begitu memikat, akankah kita lebih berani menghadapi kebaruan?


Saya kerap mengamini asumsi bahwa kebaruan, masa depan, atau serbaneka yang belum terjadi, acapkali menakutkan karena diselubungi misteri. Meski ada sebagian orang, yang mungkin karena kepalanya penuh wawasan (atau malah tak berisi apa-apa), mampu menerobos selubung itu secara gagah berani. Namun, tentu saja, ada sebagian lainnya yang memilih bercokol di sudut terjauh, gemetar, sampai kebaruan yang terus meluas tak terhindarkan lagi.


Hingga kemudian hari muncul kesadaran akan pernyataan bahwa itu bukanlah kebenaran. Namun hanyalah persepsi yang terbentuk dari pengalaman menumpang hidup di tempat yang kita singgahi selama ini, ditambah beberapa kali kunjungan singkat ke beberapa tempat lain di tahun-tahun sebelumnya. Tentu saja hal itu tak cukup untuk menyimpulkan apa-apa. Dan sebagian besar ketakutan nyaris tak pernah terjadi.


Atau, dalam konteks lain, kita bisa mempersoalkan berapa banyak pasangan yang mempertahankan hubungan beracun karena ketakutan tak mendapat ganti, atau malah mendapat ganti yang tidak sesuai ekspektasi. Tetapi, intinya, tentu saja, sama: ketidaktahuan dan paranoia yang mengiringinya kerap menciptakan ilusi kebenaran yang mengelabui kita.


Dan berkaitan dengan ilusi yang tak jarang menjadi proposisi hoaks dan teori konspirasi, kita bisa menukil Karl Popper [2] dalam sebuah esainya Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (1963), yang intinya menihilkan teori konspirasi, dan menganggapnya sangat terbelakang.


"Teori konspirasi adalah versi lain konsep yang sama, di mana dewa-dewa yang berkuasa atas segalanya digantikan oleh orang-orang jahat yang luar biasa kuat dan bertujuan menyengsarakan kita," demikian kata Popper.


Teori konspirasi biasanya berkembang dalam situasi sosial dan politik yang serba tidak pasti, dari perang, krisis politik, krisis ekonomi, bencana alam, atau pandemi. Tak heran jika teori konspirasi muncul di masa penyebaran wabah COVID-19 seperti sekarang ini [3]. Beragam asumsi yang menyuburkan "kamar gema" itu kerap bertebaran di media sosial seperti Facebook dan Whatsapp. Dalam konteks ini, "kamar gema" [4] (echo chamber) diartikan sebuah situasi dimana seseorang berada pada lingkungan grup sosial yang memilik kesamaan yang sama dengan dirinya sehingga orang yang bersangkutan dapat mendengar suaranya sendiri.


Dan situasi seperti ini memang layak dijadikan sebuah renungan agar kita tidak menelan informasi-informasi tersebut mentah-mentah, dan meyakininya sebagai kebenaran.


Gagasan serupa diafirmasi lebih lanjut oleh AS Laksana, [5] yang mengatakan bahwa jalan terbaik bagi masyarakat untuk menangkal narasi-narasi penuh kebohongan itu ialah dengan menumbuhkan perangai ilmiah alias scientific temper.


Tentu saja, kesimpulan darinya mengatakan bahwa teori konspirasi bertentangan dengan sains. Jika ilmu-ilmu sosial bertujuan memahami dan menjelaskan konsekuensi-konsekuensi terencana dan, terutama, yang tak terencana dari suatu situasi sosial, agar keburukan yang pernah terjadi tak terulang, maka teori konspirasi justru mengabaikan konsekuensi tak terencana. Teori-teori konspirasi senantiasa berangkat dari keyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi pada masyarakat merupakan hasil rancangan yang disengaja. Artinya, alih-alih memberikan pemahaman objektif, teori-teori konspirasi hanya menyediakan jawaban sekenanya bagi pikiran-pikiran yang takut dan tidak tahu.


Pada 2018, dosen US Naval War College dan komentator politik internasional Tom Nichols menerbitkan buku berjudul The Death of Expertise. [6] Dalam buku itu, ia menyesalkan bagaimana produksi pengetahuan yang mapan dan telah melahirkan banyak pakar di bidangnya kian mendapat tantangan dari sikap anti-intelektual yang berkembang pesat di Amerika Serikat. Salah satu sikap anti-intelektual itu menemukan bentuknya dalam teori konspirasi.


Nichols menulis: "Teori konspirasi sangat menarik bagi orang yang kesulitan memahami dunia yang rumit dan tidak memiliki kesabaran untuk penjelasan yang kurang dramatis".


Teori konspirasi memang selalu menemukan celah dalam pikiran manusia. Ada konspirasi yang terungkap, ada pula yang tidak. Ada yang benar-benar terjadi, tapi banyak pula yang tidak. Yang menjadi masalah adalah ketika sebuah konspirasi tak bisa dibuktikan, tapi tetap diyakini dan disebarkan sebagian orang sebagai kebenaran.


Penjelasan sekaligus seruan AS Laksana, dilanjutkan dengan lebih tajam. Kurang lebih, begini gagasannya: "Dengan menumbuhkan scientific temper, kita mendorong masyarakat untuk bergairah melakukan pencarian kebenaran dan pengetahuan baru, berpikir kritis, dan selalu bersandar pada fakta yang teramati, bukan prakonsepsi, apalagi sekadar otak-atik gatuk,".


Begitu dahsyat dan hegemoniknya rasa takut terhadap pengetahuan ihwal kebaruan. Sebab, apa pun bentuknya, kerap merepotkan kita untuk benar-benar meninggalkannya. Atau, meminjam istilah Umberto Eco [7] tentang paranoia universal yang melahirkan teori-teori konspirasi: ia senantiasa jadi rayuan psikologis yang tak dapat kita tolak.


Namun, tentu saja laku ilmiah dapat membantu kita menyiapkan diri. Mengantungi sedikit pengetahuan yang tepat jelas lebih berharga ketimbang menggendong ransel penuh kesalahpahaman. Sebagaimana hakikat dari sains itu sendiri. Sains bukan sebatas kumpulan data maupun fakta, melainkan ia adalah sebuah cara berpikir. Frasa “cara berpikir” inilah yang kemudian harus ditekankan dan menjadi perhatian pada ruang-ruang diskursus pengetahuan.


Untuk lebih membantu dalam upaya “mencari kebenaran”, terinspirasi karya Popper yang lainnya, kiranya perlu diawali dengan membuat garis pemisah yang jelas antara sikap subyektif dan obyektif, dengan metode demarkasi sains vs pseudo-sains dan falsifikasi. Selanjutnya memilah antara yang epistemik (bagaimana kita tahu) dengan yang ontologis (realitas yang ada).


Cara kerja metode itu berkebalikan dengan prinsip verifikasi. Jika verifikasi digunakan untuk menemukan bukti-bukti “pembenaran” atau justifikasi, maka falsifikasi diterapkan dengan mencari fakta yang bertolakbelakang/fakta anomali, untuk kemudian disandingkan menguji kebenaran teori awal.


Gambaran sederhananya ibarat kita ingin membuktikan apakah benar semua ayam memiliki bulu berwarna putih. Jika anda menggunakan gagasan verifikasi, maka pasti anda hanya akan disibukkan untuk mencari sampel-sampel beragam ayam dengan warna putih sebagai bukti “pembenaran” proposisi sebelumnya. Akan tetapi, dengan menerapkan prinsip falsifikasi, maka anda tidak mencari contoh ayam yang berwarna putih untuk membuktikan kebenaran hipotesis pribadi, sebaliknya anda akan mencari sampel ayam dengan warna lain misalnya (entah putih, merah, biru, dan sebagainya), untuk mengetes kebenaran teori tersebut. Dengan begitu, setidaknya kita belajar sedikit lebih objektif ketika menilai sesuatu dengan tidak hanya mengamati hal-hal yang sesuai dengan keyakinan diri, juga tidak abai terhadap hal-hal yang berkontradiksi dengannya. Dan falsifikasi ini adalah tawaran gugatan terhadap prinsip verifikasi para filsuf neopositivis.


Sehingga implikasinya akan jadi lebih objektif dan fair apabila kita mau meminjam prinsip falsifikasi Popper untuk meminimalisir subjektifitas yang darinya kemudian melahirkan teori konspirasi —belakangan ini, fanatisme buta terhadap figur-figur politik dalam negeri bisa dijadikan studi kasus serupa.


Namun, saya pikir, tidak perlu juga terobsesi dengan segala kebenaran. Setidaknya akan cukup relevan apabila memastikan untuk terus-menerus berupaya mengurangi kesalahan dalam keseharian. Terlebih, dalam keseharian, kita pasti pernah mengalami ketakutan akan kebaruan yang dimaksudkan. Bahkan mencakup hal yang sama sekali dianggap remeh-temeh sekalipun.


Ketika kita untuk pertama kali berupaya mendekati lawan jenis yang kita idamkan, misalnya. Terkadang kita mengawalinya dengan ketakutan meski telah berupaya mencari tahu dan mengingat sebanyak mungkin tentang yang bersangkutan. Bagaimana kalau, misalnya, anggapan buruk orang-orang tentangnya, benar? Apa jadinya, andai kata, ditolak mentah-mentah, atau barangkali, berujung diabaikan?


Dan pada akhirnya, salah satu cara untuk benar-benar menyingkap kebaruan adalah dengan memfalsifikasinya secara perlahan. Bisa saja, dengan mengalahkan ketakutan, akan menjadi kebaruan yang menggembirakan. Atau pun sebaliknya, dengan meminjam dua bait terakhir sajak Sia Sia Chairil Anwar di tahun 1943: “Ah ternyata hatimu yang tak memberi. Mampus kau dimakan sepi”.



***

[1]. Amin Mudzakkir adalah seorang Peneliti di LIPI. Gelar sarjana didapat di UGM, Jurusan Sejarah. Masternya di bidang filsafat, STF Driyarkara, Jakarta. Beberapa kolomnya bisa dibaca di sini: https://alif.id/read/author/amin-mudzakkir/


[2]. Sir Karl Raymund Popper merupakan seorang filsuf dan profesor asal Vienna dan Inggris. Dia juga disebut sebagai filsuf terbesar abad 20 dibidang filsafat ilmu. Popper dikenal dengan gagasan falsifikasi sebagai lawan dari verifikasionisme dan induktivisme klasik dalam metode ilmiah.




[5]. AS Laksana merupakan pria kelahiran Semarang, Jawa Tengah pada 25 Desember 1968. Ia merupakan lulusan Komunikasi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Ia telah menulis beberapa buku dan cerpen yang telah diterbitkan di berbagai media, salah satu karyanya berjudul Bidadari Yang Mengembara. Beberapa tulisannya bisa dibaca di sini: https://beritagar.id/penulis/aslaksana


[6]. Kematian Kepakaran: Kampanye Melawan Pengetahuan yang Mapan dan Mengapa Itu Penting. Untuk pengantar, bisa dibaca di sini: https://www.nytimes.com/2017/03/21/books/the-death-of-expertise-explores-how-ignorance-became-a-virtue.html


[7]. Umberto Eco merupakan seorang filsuf dan novelis berkebangsaan Italia, yang menjadi terkenal saat menulis novel The Name of the Rose dan beberapa esai lainnya. Eco dilahirkan di Alessandria, Piedmont. Ayahnya, Giulio, merupakan ahli akuntan.




*Menlitsuspol BEM Unipi

79 views0 comments

Recent Posts

See All

The Twisted-Ending-Boy

Oleh: Iris (nama samaran) He was sitting in the front when I first saw him. Quiet and seems like he's not interested for socializing....

Musik Sebagai Medium Kritik sosial-politik

Oleh : Yogi Esa Sukma Nugraha Ada sebuah fenomena masif dari musik belakangan yang menjadi kekuatan politik. Hal itu terjadi pada 2014....

Comments


Post: Blog2_Post

08975018018

Subscribe Form

Thanks for submitting!

©2020 by BEM Universitas Persatuan Islam. Proudly created with Wix.com

bottom of page