top of page
Search

Surat Cinta Untuk Nadin Amizah

Writer's picture: Bem UnipiBem Unipi

Oleh : Yogi Esa Sukma Nugraha


Sebelumnya, diberitahukan bahwa surat ini adalah tanggapan untuk penyanyi kesayangan kita semua: Nadin Amizah, yang membuat keriuhan di media sosial. Tapi bukan karena aksi panggungnya, melainkan karena ucapannya di podcast Deddy Corbuzier. Namanya langsung masuk trending topic Twitter karena potongan video hitungan detik ketika dia berbicara tentang miskin dan kaya.


Oke, daripada kelamaan, kita mulai aja, ya. Bismillahirrahmanirrahim.


Assalamu'alaikum, Kak Nadin.


Sebelumnya perkenalkan, Kak Nadin, saya adalah orang yang dikelilingi para pemuja Kak Nadin, di sini. Baik ketika Kakak sedang nyanyi, juga ketika beropini.


Bagaimana kabar hari ini? Semoga senantiasa diberikan kesehatan, ya, Kak.


Sebagaimana kebanyakan orang miskin di negeri ini, dan mungkin di belahan dunia lain, saya sedikit marah saat mendengar opini yang keluar dari mulut kakak. Marah. Betulan. Geregetan. Padahal, saat ini kita semua sedang diserang virus yang membuat segalanya tiba-tiba menjadi kacau. Orang-orang panik. Ekonomi menukik. Orang-orang menderita. Lalu makin banyak yang meninggal dunia. Payahnya, sampai sekarang, kita semua gak tahu sampai kapan ini bakal terus terjadi. [1] Konon, di China pun, yang lebih dulu dianggap bisa menanggulangi virus ini, mulai tersiar kabar anyar bahwa corona kembali menyerang negeri itu dengan serangan gelombang kedua. Saya tak bisa memastikan informasi terkait ini dengan baik karena situasi bertambah rumit. Tentu saja ucapan Kak Nadin soal kemiskinan menambah keruwetan ini.


“Jadilah orang kaya, karena kalau kamu kaya kamu akan lebih mudah jadi orang baik. Dan saat kita miskin, rasa benci kita pada dunia itu sudah terlalu besar sampai kita nggak punya waktu untuk baik sama orang lain lagi,” ujar Kak Nadin.


Meskipun, mungkin saja, sebenarnya ujaran ini berasal dari pendidikan orang tua, Kak Nadin. Tentu untuk memberi motivasi yang membangun. Namun, apa benar orang miskin akan terjebak dalam kebencian dan sikap iri dengki. Apa kaum miskin semengerikan itu, Kak?


Jelas, tidak! Kemiskinan dan sikap baik tidak punya korelasi yang tegas. Baik buruknya seseorang tidak melulu ditentukan oleh kondisi ekonomi.


Justru gak jarang, dalam posisi serba kekurangan, kita menemukan situasi dimana antar sesama manusia saling mencintai dan berbagi, karena mereka yang mengalami langsung itu tau rasanya kelaparan & gak punya apa-apa: empati. Sebaliknya, baru-baru ini beberapa dari kita tentu mendengar bahwa ada mantan Menteri Sosial [2] (Mensos) yang tersandung dalam kasus korupsi bantuan sosial atau bansos COVID-19. Duh, jahat banget ya, Kak. Tapi, sebentar, apa beliau miskin? Jelas saya meragukannya, Kak Nadin.


Sehubungan dengan hal itu, mari kita membedahnya lebih dalam, Kak Nadin.


Kemiskinan, yang sedikit saya pahami, dipandang sebagai keadaan diri seseorang atau sekelompok orang yang mengalami kekurangan. Orang disebut miskin apabila orang tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar. Secara umum kemiskinan dapat dibedakan kedalam dua bentuk, pertama kemiskinan absolut, dan kedua, kemiskinan relatif.


Tentu sudah banyak pula penelitian yang mendeskripsikan dan menganalisis bentuk-bentuk kemiskinan masyarakat miskin pedesaan, maupun perkotaan, Kak.


Hasil penelitiannya itu menemukan bahwa bentuk kemiskinan masyarakat dapat berupa kemiskinan kultural, kemiskinan struktural, dan kemiskinan natural. Kemiskinan kultural masyarakat miskin bisa dilihat dari ketidakterlibatan dalam organisasi tingkat desa, kecamatan, kota ataupun pemerintah pusat, kebiasaan mempunyai banyak anak, mengembangkan keluarga luas yang terdiri dari orang tua, anak, dan kakek/nenek dalam satu rumah, dan jam kerja panjang namun penghasilan relatif kecil. Lalu, kemiskinan struktural yang berupa, jenis pekerjaan keluarga miskin pada umumnya sebagai petani/buruh yang lebih menitikberatkan pada keseimbangan hidup dalam bermasyarakat, sehingga pendidikan dirasa sulit dijangkau, dan kaum perempuan masih terpinggirkan dalam proses pembuatan keputusan keluarga dan masyarakat desa. Dan kemiskinan struktural ini terlalu naif kalo dibilang gak ada. Sebab, hal itu bukan karena orang yang bersangkutan itu (maaf) bodoh atau gak punya skill, tapi karena sedikitnya akses untuk pengetahuan dan fasilitas yang bisa mendukung untuk terciptanya sistem kesejahteraan yang adil. Sedangkan, kemiskinan natural dapat dilihat dari ketidakmampuan sumber daya alam untuk mendukung kehidupan normal keluarga miskin. Alam tidak mampu untuk ditanami tanaman pangan khususnya padi, karena lahan yang kering dan tanah berada pada dataran tinggi. Di samping itu faktor usia yang tua menjadikan keluarga miskin yang bersangkutan tidak mampu bekerja.


Ruwet, kan, Kak? Ya, tentu saja tidak sesederhana opini Kak Nadin.


Upaya memecahkan persoalan masyarakat miskin untuk keluar dari permasalahan yang dirasakannya sudah cukup besar dilakukan. Para sosiolog telah berupaya keras meneliti hingga detilnya. Untuk hal yang tidak jarang ditemui di lingkaran akademis ini, Kak Nadin juga mungkin paham.


Meskipun, ya, kita semua tau ada segelintir orang miskin yang akhirnya tumbuh menjadi sukses dan berkelimpahan. Tapi jangan lupa juga kalau jumlah yang segelintir itu justru membuktikan betapa sulit si miskin untuk melakukan lompatan-lompatan.


Sebaliknya, amat sedikit orang kaya yang justru melakukan bunuh diri kelas menjadi melarat. Itu membuktikan, betapa sulit si kaya untuk menjadi miskin. Lah iya, di situlah poinnya. Kak Nadin mungkin belum tahu, di negaranya ini, ada beton yang memisahkan si miskin dan kaya yang mengakibatkan si miskin sulit kaya dan si kaya gampang makin kaya. Dan itu membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas.


Ada pun penelitian yang menyebutkan bahwa kemiskinan struktural diakibatkan oleh bobroknya kinerja Pemerintah, banyaknya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, sehingga distribusi kekayaan negara yang berlimpah tidak pernah sampai dan adil kepada masyarakat kelas bawah. Kekayaan negara dikuasai oleh kalangan elit tertentu, Pemerintah, aparat birokrat, dan sebagian orang kalangan menengah ke atas saja. Yang miskin semakin susah dan melarat sedangkan yang kaya semakin haus oleh kekayaan, dan hidupnya semakin konsumtif. Dan mereka itulah yang kerap disebut oligark, Kak Nadin.


Selebihnya, mungkin saya hanya bisa merekomendasikan Kak Nadin untuk membaca hasil penelitian dan kajian kebijakan publik yang dilakukan SMERU Institut. Di sana tersedia informasi yang akurat, serta analisis yang objektif, secara profesional dan proaktif mengenai berbagai masalah sosial-ekonomi dan kemiskinan yang dianggap mendesak dan penting bagi rakyat Indonesia. [3]


Selain itu, sudah bertebaran pula literatur yang bisa mengantar kita ke persoalan bagaimana orang miskin diinjak karena pilihan politik, satu dikorbankan karena kasta, satu dipaksa tunduk karena oligark, dan yang lain dipaksa kalah karena kemiskinan struktural di masyarakat urban. Padahal kan, ya, pada dasarnya siapa pun tak ada yang menghendaki dirinya bodoh dan miskin. Kak Nadin pasti paham itu. Setiap manusia kan, berharap bisa hidup berkecukupan dan tak terbelakang. Namun, dalam realitas harapan tersebut terkubur dan kandas oleh kondisi yang memaksa, struktur yang menindas. Uraian di atas, sekaligus menegaskan pula bahwa tidak sedikit pula dari kita yang miskin dan (maaf) bodoh diakibatkan dari tidak berfungsinya sistem yang ada karena mereka yang mengendalikan tidak memiliki kemampuan sesuai dengan posisinya. Dengan lain kata, para pengelola yang ditempatkan tidak sesuai kompetensinya.


Tapi, meski begitu, entah kenapa aku percaya bahwa Kak Nadin lembut dan bakal bisa menangkap bahasa kelembutan ini. Bahasa yang kadang disampaikan dalam bentuk doa, dan puisi. Kadang dalam sedikit keluhan yang menyayat hati untuk mengusir dan membentengi diri dari kemuraman hari ini.


Kita semua makhluk ciptaan Allah SWT, Kak Nadin juga. Kita bagian dari alam semesta, Kakak juga sama. Di tengah gempuran pandemi corona, semoga kita semua sama-sama menemukan cara untuk mengakhirinya.


Lagi pula, ya, namanya juga opini. Apa pun itu, selama tidak menyalahi aturan yang berlaku, bagi saya tidak dapat disalahkan, lagi dibenarkan. Itu hanya bisa diterima saja dengan mendukung atau menolaknya, sebatas itu tentu saja.


Saya sendiri, di umur 20, pernah juga beropini konyol bahkan lebih banyak dari Kak Nadin, sampai detik ini malah. Hanya saja, bedanya, saat itu saya belum terlalu sering berselancar di media sosial. Sehingga gak perlu minta maaf ke banyak orang. Dan untungnya, saya bukan siapa-siapa.



***




*Menlitsuspol BEM Unipi

 
 
 

Recent Posts

See All

The Twisted-Ending-Boy

Oleh: Iris (nama samaran) He was sitting in the front when I first saw him. Quiet and seems like he's not interested for socializing....

Comments


Post: Blog2_Post

08975018018

Subscribe Form

Thanks for submitting!

©2020 by BEM Universitas Persatuan Islam. Proudly created with Wix.com

bottom of page