Oleh : Yogi Esa Sukma Nugraha
Perihal kerja-kerja yang bakal dilakukan Kementerian Penelitian Bem Unipi saat ini, kami berupaya mengikuti alur tema yang diusung saat muktamar 2019 lalu terkait arah baru Unipi: spirit kolaborasi dan integrasi keilmuan. Sebab, besar kemungkinan, masih bakal relevan hingga beberapa tahun ke depan.
Dalam spirit itu, tersimpan sebuah keinginan, untuk mempertemukan filsafat dengan berbagai disiplin ilmu. Filsafat, yang tidak dipahami hanya sekadar kegiatan merapal nama-nama para tokoh dari periode Antik hingga Kontemporer, tetapi juga sebagai usaha berpikir rasional, reflektif, kritis, radikal, dan sistematis terhadap suatu persoalan konseptual dan teoretik dalam berbagai disiplin keilmuan yang pelik. Meski sadar, bahwa perjuangan yang bakal melelahkan itu membutuhkan waktu tidak sebentar. Dan oleh karena kerap diasumsikan sebagai ibu dari segala ilmu, lantas muncul sebuah pertanyaan yang hadir di kepala: pentingkah kami mengawalinya dengan mengkaji kembali filsafat dan sastra?
Tentu saja, hal ini memungkinkan jadi permasalahan bagi beberapa dari kita yang termakan asumsi dangkal, yang melahirkan dikotomi tegas antara generalis dan spesialis dalam dunia akademis. Nah, sekarang, mari kita coba bongkar atau pertanyakan ulang asumsi dasar seperti demikian.
Sebab, dalam era perubahan teknologi yang begitu cepat hari ini — dan dalam situasi yang semakin kompleks dan penuh ketidakpastian, peran manusia yang adaptif dalam berbagai kondisi yang ekstrem menemukan kembali relevansinya. Kita dituntut menjadi seorang generalis dan spesialis di saat bersamaan, dan tentu hal itu bukanlah mustahil, bahkan boleh jadi harus kita lakukan untuk dapat bertahan pada zaman disrupsi inovasi dan digitalisasi ini.
Menjadi generalis-spesialis artinya menjadi seseorang yang tidak berhenti belajar. Ia yang tidak hanya memiliki spesialisasi kepakaran di satu bidang ilmu, tapi juga berusaha menggali berbagai bacaan dan memperdalam bidang-bidang ilmu lain yang sesuai dengan tantangan zaman.
Bahkan, secara faktual, hal ini didukung dengan adanya orang-orang hebat pada masa lalu yang ternyata merupakan generalis dan spesialis pada saat yang sama. Misalnya, Leonardo Da Vinci yang lebih dikenal sebagai seniman, namun ia juga memiliki ketertarikan terhadap matematika, anatomi, hingga teknik penerbangan.
Begitu pula dengan Ibnu Sina yang mendalami ilmu medis, astronomi, dan filsafat di saat bersamaan. Artinya, kita pun layak untuk mampu bertahan dan mampu mengatasi tantangan dunia pada masa depan.
Syaratnya hanya satu: kita harus memanfaatkan kapasitas diri untuk menjadi seorang generalis spesialis pada saat bersamaan, yang adaptif. Terlebih, kita kerap menemui realitas yang seringkali terlalu keras kepala untuk diubah oleh teori yang telah usang, sekaligus menyentil kita semua untuk tidak pernah berhenti belajar dalam upaya menghasilkan teori (atau ilmu) baru yang lebih relevan.
Dan dalam konteks Unipi ini, tentu saja proposisi di atas sangat sesuai. Bahkan layak untuk kita kembangkan. Tentu dengan konsep integrasi berbagai disiplin keilmuan yang begitu beragam seperti yang ada sekarang. Suatu hal yang juga senada dengan kajian berkerangka komparatif dan interdisipliner (atau lintas disiplin keilmuan baik akademis maupun praktis) seperti yang diupayakan oleh Benedict Anderson, dalam kajiannya mengenai berbagai pergolakan di Asia Tenggara. [1]
Maka, dalam upaya mengembangkan keilmuan dan meningkatkan kemampuan nalar ilmiah kita semua —selain nantinya bakal ada workshop kepenulisan kreatif, kita juga layak memulai semuanya dari awal, dengan mengupayakan berbagai bacaan dan pembahasan berkenaan ibu dari segala ilmu itu..
Baiklah, kita lanjutkan dengan sebuah pertanyaan 'apa artinya filsafat', khususnya ketika ia dikabarkan ‘sekarat’? Memang, di zaman yang semakin merebaknya pragmatisme ini, filsafat nampak tak berarti apa-apa, sebab ia tak menghasilkan nilai-tukar, tak membuahkan popularitas yang membutakan mata kaum kelas menengah yang pongah. Filsafat bukanlah sehimpun kata-kata mutiara yang menyembur dari mulut seorang motivator, yang terkadang mampu membuat semangat kita yang layu menjadi kembali segar —meski semu. Ia tak menjanjikan apapun selain ‘kecemasan’ yang panjang, yang cenderung sia-sia ketimbang menyaksikan konser musisi idola atau nongkrong di sebuah tempat yang instagramable. Karena filsafat —menukil perkataan Prof. Bambang Sugiharto, adalah aktivitas berpikir yang lumrah, tapi juga tak mudah.
Seseorang yang menekuni filsafat harus rela terjun di jalanan berlumpur dan berliku, mendaki tebing-tebing curam dan berkabut: menelusuri kepingan-kepingan sejarah, mengarungi lautan gagasan—mungkin dengan penuh kecemasan—untuk menggapai ujung cakrawala kebenaran. Filsafat adalah suatu gerak pikiran yang pada titik tertentu tak dapat dibendung. Filsafat, juga ilmu pengetahuan, bermula dari aktivitas berpikir. Karena itu, Francis Bacon —sang cahaya Renaisans, mengatakan bahwa ada tiga macam akal manusia: ingatan, imajinasi, dan pikiran. Daya ingatan mencipta sejarah, daya imajinasi melahirkan puisi, dan daya berpikir menghasilkan filsafat. Inti filsafat adalah berpikir, meski tak semua aktivitas berpikir dapat disebut berfilsafat.
Berpikir dalam filsafat mempunyai ciri-ciri khusus: sistematis, universal, dan radikal (bukan pengertian radikal yang belakangan ini diusung pemerintah, ya! Tolonggg..arrghhhhh!).
Berfilsafat adalah aktivitas berpikir yang bertujuan, bukan secara ‘ugal-ugalan’ demi meraih suatu kesan narsistik: intelektual karbitan. Tujuannya adalah memperoleh pengetahuan yang menyangkut kebenaran. Dengan berfilsafat, mungkin kita bisa sampai pada kebenaran yang selama ini didambakan.
Istilah “filsafat”—yang merupakan padanan kata falsafah dari bahasa Arab dan philosophy dari bahasa Inggris—berasal dari bahasa Yunani, philosophia, yang bermakna mencintai kebijaksanaan. Konon, istilah philosophia ini pun, menurut tradisi filsafat Yunani Kuno, pertama kali digunakan oleh si rendah hati Pythagoras, sekitar abad ke-6 SM. Ketika diajukan pertanyaan kepadanya; “Apakah Anda termasuk orang yang bijaksana?”. Dengan seutas senyum di wajahnya yang konyol, Pythagoras kemudian memberi jawab; “Saya hanya seorang philosophos, ‘pecinta kebijaksanaan’ (lover of wisdom)”, atau dalam sumber lain, Pythagoras menjawab, “Saya hanya orang yang menyukai pengetahuan.” Sampai di sini, kita bisa kembali mengajukan pertanyaan (yang bisa jadi tak penting): Lalu apakah makna kebijaksanaan itu? Apa artinya ketika kita berbicara tentang orang yang bijaksana?
Seorang filsuf adalah manusia yang mencintai kebijaksanaan, dan mungkin telah mengunyah secercah makna kebijaksanaan. Kebijaksanaan, tentu saja tak hanya dimiliki seorang ilmuwan yang 'mapan', yang ahli dalam bidang ilmu pengetahuan tertentu. Begitu pula, orang yang telah mengerti banyak hal—dan terkadang sok tahu—yang telah menguasai berbagai ilmu pengetahuan, belum tentu menjadi seorang yang arif bijaksana. Kebijaksanaan lebih dari sekedar ilmu pengetahuan. Menurut beberapa ahli dalam hal kebijaksanaan, seseorang baru disebut bijaksana apabila ia mempunyai pengertian yang mendalam mengenai arti dan nilai sesungguhnya daripada komoditas, mengenai arti dan nilai hidup, arti dan nilai manusia. Karena itu, di saat menjamurnya penyakit konsumerisme yang ‘akut’, penghancuran sumber-sumber daya alam demi akumulasi modal, filsafat mendapatkan ‘gaung’-nya kembali sebagai cara untuk meraih kebijaksanaan. Filsafat masih berarti, sekurang-kurangnya, bagi saya, meski harus terseok-seok, sempoyongan.
Sehubungan dengan itu, kita pun tak dapat mengabaikan sejarah awal munculnya khazanah pemikiran filsafat untuk memahami lebih jauh perihal makhluk yang bernama filsafat ini, yang konon, bermula dari peradaban Yunani Kuno, lalu abad pertengahan, modern, sampai abad kontemporer. Hal ini sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Betrand Russel dengan susah payah, dalam bukunya History of Western Philosophy, yang mengupas sejak Filsafat Yunani Kuno, hingga Modern. Dan dalam perjalanan yang bakal panjang dan melelahkan ini, tentu kita tidak mempunyai pamrih untuk membentangkan pikiran canggih para filosof itu secara komprehensif, oleh karena begitu luasnya cakupan untuk menggapainya. Untuk itu, kajian kita nantinya bersifat sebagai introduksi, atau sebuah pengantar. Sekurang-kurangnya, kita hanya akan mengulas beberapa subtansi pikiran filsafat modern, postmodernisme, dan kritik tentangnya.
Filsafat Modern
Beberapa dari kita mungkin sudah tau, bahwa di akhir abad pertengahan, peradaban Barat mengalami krisis, yang berujung pada mistisisme. Hal ini disusul dengan runtuhnya otoritas gereja dan kekaisaran yang brutal, hingga negara-negara mulai terbentuk. Ketertarikan pada negara pun dimulai: selama fajar Renaisans menyingsing, muncul para pemikir politik yang tangguh, seperti Machiavelli, Bacon, dan Hobbes. Kebudayaan klasik warisan Yunani-Romawi dicermati dan dihidupkan kembali: filsafat menggali inspirasinya dari sana.
Itulah kira-kira latar yang mengawali transisi menuju era yang disebut Modernisme, yang merupakan suatu periode yang mengafirmasi manusia sebagai subjek otonom, berdasarkan logika yang bersumber dari daya nalar pemikiran. Sikap dan cara berfikir yang disesuaikan dengan tuturan zaman. Mencapai kebenaran pengetahuan dalam kehidupan peradaban modern, sehingga mempengaruhi tingkat intelektualitas paling tinggi.
Gagasan-gagasan para filsuf modern itu kerap membuat tidak nyaman telinga para penjaga status quo: kedengaran 'subversif' bagi rezim politis, dan 'sinting' bagi seorang apatis. Namun, merekalah yang membuka jalan bagi kebebasan berpikir. Tanpa mereka, kiranya orang tak pernah berani secara rasional mendekati misteri manusia, masyarakat, dan dunia seperti yang kini berkembang dalam berbagai ilmu modern.
Sains, teknik, ekonomi kapitalistis, negara hukum dan demokrasi modern, berpangkal dari sebuah pemahaman filosofis yang lalu menjadi elemen modernitas kini, di antaranya, yakni: subjek, idea kemajuan (the idea of progress), dan kritik. Para filsuf modern mengembangkan ketiga elemen kesadaran modern itu dalam berbagai ajaran, mulai dari humanisme renaisans, rasionalisme, empirisme, kritisisme, idealisme, materialisme, romantisme, dan positivisme.
Rene Descartes, yang diberi gelar "Penemu Filsafat Modern" dan "Bapak Matematika Modern", dianggap sebagai salah satu sosok pemikir paling penting dan berpengaruh dalam sejarah barat modern. Ia menginspirasi generasi filsuf kontemporer dan setelahnya, membawa mereka untuk membentuk apa yang sekarang kita kenal sebagai rasionalisme kontinental, sebuah posisi filosofikal pada Eropa abad ke-17 hingga abad ke-18.
Buah dari pemikirannya membuat sebuah revolusi pemikiran di Eropa karena pendekatan pemikirannya yang menyatakan bahwa semuanya tidak ada yang pasti, kecuali kenyataan bahwa seseorang itu bisa berpikir. Teori tersebut juga berarti membuktikan keterbatasan kemampuan manusia dalam berpikir dan mengakui sesuatu yang di luar kemampuan pemikiran manusia. Karena itu, ia membedakan "pikiran" dan "fisik". Pada akhirnya, kita mengakui keberadaan kita karena adanya alam fikir.
Dalam bahasa Latin, gagasan ini dikenal: cogito ergo sum sedangkan dalam bahasa Prancis adalah: Je pense donc je suis. Keduanya artinya adalah:
"Aku berpikir maka aku ada". (I think, therefore I am) Atau, I think, therefore I exist.
Di titik ini, Decartes menjadi simbol zamannya sebagai antitesis, perlawanan, pemberontakan, dan penolakan terhadap setiap tradisi lama yang diasumsikan kolot, dan menindas.
Sebelumnya, Ada Nicholas Copernicus (1473-1543) yang merupakan seorang ahli dalam matematika, astronomi, dan kedokteran. Karyanya yang monumental adalah De revolutionibus orbium caestium, yang menyatakan bahwa matahari adalah pusat dari sistem tata surya kita, dan bumi berserta planet-planet lain berputar mengelilinginya. Gagasannya ini dikenal sebagai teori heliosentrisme, yang diterima dengan penuh permusuhan, tapi kemudian diyakini hingga hari ini. Ide heliosentrisme Copernican ini diadopsi oleh Johann Kepler (1571-1630), seorang astronom dari Jerman, dan pada tahun 1690 menerbitkan Physica caelestis; fisika Aristoteles dan Abad Pertengahan adalah ilmu alam, ilmu yang berkaitan dengan menemukan prinsip atau penyebab (causes) gerak.
Lalu ada Galileo Galilei (1564-1642), yang lahir di Pisa, Italia, sebagai tokoh sentral dari revolusi ilmiah abad ke-17. Ia yang memainkan peran kunci dalam sejarah sains, dan seringkali digadang-gadang sebagai pendiri fisika sejati. Karyanya dalam fisika atau filsafat alam, astronomi dan metodelogi sains, masih menimbulkan perdebatan lebih dari 400 tahun setelahnya. Perannya dalam mempromosikan teori Copernicus sangat sentral, hingga ia diadili oleh inkuisisi Roma. Setelah itu, bermunculan serangkaian fisikawan yang membangun pemikirannya di atas teori Galileo: Torriceli, salah satu muridnya, yang menemukan barometer; Gassendi, yang merombak teori atom; Robert Boyle, yang memberi karakter ilmu kimia secara ilmiah; Hillander Huygens, yang menemukan hukum dari mekanika yang berasal dari teori cahaya; Descartes, yang menciptakan geometri analitis; Leibniz, yang menemukan kalkulus terkecil; dan terutama, Newton, yang membuat formulasi umum dari prinsip-prinsip fisika modern.
Namun, kapankah tepatnya hari kelahiran suatu periode yang disebut zaman modern? Istilah "modern" berasal dari kata Latin modernus yang artinya sekarang, baru, atau saat kini. Atas dasar pengertian ini, kita bisa mengatakan bahwa manusia senantiasa hidup di zaman modern, sejauh kekinian menjadi kesadarannya. Modernisme bukan hanya menunjuk pada periode, melainkan juga suatu bentuk kesadaran yang terkait dengan kebaruan (newness).
Modernisme ditandainya dengan munculnya sekularisasi di segala bidang (politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan sebagainya) yang diprakarsai semangat pemikiran bebas dan humanisme. Namun, arogansi mereka seolah membutakan mata. Mereka lupa bahwa sebelumnya, saat filsafat diganyang otoritas barat di abad pertengahan, ia dikembangkan oleh orang Islam, antara pertengahan abad ke-8 dan permulaan abad ke-13. Dengan lain kata, di era pertengahan, para pemikir Islam merupakan pemantik utama suluh kebudayaan dan peradaban di seluruh dunia, serta pengantar munculnya renaissance di Eropa Barat. Saat itu, peradaban Muslim masuk ke wilayah Eropa melalui dua cara: studi orang Barat ke Andalusia, dan melalui kontak perdagangan dan penerjemahan. Sebagaimana pengakuan beberapa sejarawan, bahwa ilmu pengetahuan Islam dalam banyak hal merembes ke alam pikiran orang-orang Barat. Hal ini dapat dilihat dalam sejarah Islam di Andalusia yang menunjukkan salah satu perkembangan terbaik di Eropa pada abad pertengahan, atau yang dalam asumsi para filsuf modern dianggap abad kegelapan. [2]
Maka, dalam perkembangan selanjutnya, tidak heran jika arogansi modernisme itu lalu memanen berbagai tanggapan negatif, yang salah satunya, tentu saja, postmodernisme.
Postmodernisme
Postmodernisme (selanjutnya, disingkat posmo) adalah aliran pemikiran yang sekaligus menjadi gerakan yang bereaksi terhadap kegagalan manusia menciptakan tatanan kehidupan lebih baik. Posmo, didasarkan pada rasa kecewa terhadap ilusi yang diberikan oleh peradaban modern, yang mendasarkan diri pada ilmu pengetahuan rasional.
Menurut prof. Bambang Sugiharto (guru besar Unpar, yang dianggap pertama kalinya membawa gagasan posmo ke Indonesia), terdapat tiga konsepsi tentang postmodern yang dapat digolongkan sebagai berikut.
Pertama, pemikiran yang hendak merevisi kemodernan dan cenderung kembali ke pra-modern. Corak pemikiran yang mistikomitis dan semboyan khas pemikiran ini adalah holisme.
Kedua, pemikiran yang erat pada dunia sastra dan banyak pada persoalan linguistik. Kata kunci yang popular adalah dekonstruksi, yaitu Kecenderungan untuk mengatasi gambaran-gambaran dunia modern melalui gagasan anti gambaran dunia sama sekali. Semangat membongkar segala unsur yang penting dalam sebuah gambaran dunia, seperti (subjek) diri, tujuan, dunia nyata dan lain-lain. Tokoh yang berperan dalam pemikiran tersebut adalah J. F. Lyotard, M. Foucault, Jean Baudrillard, Jacques Derrida.
Ketiga, pemikiran yang hendak merevisi modernisme, tidak dengan menolak modernisme secara total, namun dengan memperbaharuinya premis-premis modern disana-sini saja. Singkat kata, kritik terhadap imanen terhadap modernisme dalam rangka mengatasi berbagai konsekuensi negatifnya. Pendekatan dalam penelitian postmoderen dikenal dengan pendekatan dekonstruksi, karena karakteristik teoritik dan metodologik paling dasar serta esensial, dari postmodern adalah dekonstruksi.
Posmo, juga memacu sikap kritis dan menghidupkan sikap demokratis dan rendah hati. Sebab, kemapanan yang dilahirkan oleh modern seperti liberalisme dipertanyakan lagi. Asumsi dasar, yang melandasi berbagai pemikiran, dibongkar lagi. Bersamaan dengan itu, kita bisa lebih simpatik mendengarkan suara-suara ''baru'', seperti suara-suara dari orang-orang di Dunia Ketiga. Bagi kalangan seniman, Posmo bahkan bukan hal yang baru. Seni selalu mendasarkan dirinya pada kreativitas manusia. Kreativitas selalu mencari yang baru. Kreativitas juga tidak pernah menerima dominasi ilmu pengetahuan yang rasional. Kreativitas tidak pernah menerima dominasi apa pun dan siapa pun. Yang diutamakan: penghayatan.
Sementara bagi kelompok minoritas, seperti gerakan kaum perempuan, gerakan pencari pola hidup alternatif, gerakan pelestarian lingkungan hidup, Posmo merupakan pemikiran baru yang sangat berguna. Posmo memberikan keabsahan pada mereka untuk diperhatikan dan didengarkan, memberikan kepercayaan diri yang lebih besar terhadap kelompok-kelompok ini. Posmo memungkinkan mereka masuk dalam dialog besar umat manusia.
Awalnya, posmo dianggap kosong tak bermakna, padahal secara faktual, modern pun pada awalnya dianggap sama. Toh, secara latin modernus artinya hari ini > kiwari. Modernus juga sebuah spontanitas untuk sudut yang sulit dipahami dari kerangka lama, sebelumnya.
Secara definisi:
- modernitas; situasi kultural kemodernan.
- modernisme; aspek teoritis konseptual kemodernan > rasionalisme, empirisme, materialisme, idealisme. Bertabrakan semua. Kontradiksi. Sama halnya seperti yang dituduhkan pada postmodernisme.
Ada pun berbagai pemikiran yang mempengaruhi —setidaknya turut membidani posmo: Fenomenologi (Edmund Husserl, Heidegger) >(hermeutik, eksistensialis). Linguistik > strukturalisme (Ferdinand de Saussure) > poststrukturalism (Derrida, Baudrilard, M.Foucault) < psikoanalisis (Sigmund Freud,Jacques Lacan). Neomarxis (pengusung wacana kritis mazhab Frankfurt). Linguistik Analisis (Wittgenstein). Di luar Eropa, penyokong posmo itu pragmatisme, yang diusung Richard Rorty. Pragmatism dalam arti, lebih menghargai hal kecil dalam perkembangan relasi dengan yang lainnya. Berkebalikan dengan modernisme yang berhasrat, berambisi mengetahui seluruh realitas semesta alam. Asumsi dasarnya, adalah relativisme yang tidak merusak. Keyakinan yang tidak berdasarkan fondasi filosofis apapun.
Hanya saja, yang paling eksplisit, atau terang-terangan posmo itu: poststrukturalisme.
Lebih lanjut, posmo menghargai perbedaan. Dalam hal ini, misalnya kritik atas saintis yang terlalu kaku. Faktanya, kehidupan itu berwarna, ada kalanya saintis bahkan terlihat bodoh. Ada saatnya seorang ilmuwan tidak bisa mengingat hal-hal sepele. Ada saatnya seorang besar mengambil keputusan konyol yang sama sekali tidak ilmiah.
Posmo juga mendorong "bersepakat untuk tidak bersepakat". Ini yang banyak dilupakan pemikir sebelumnya. Sehingga muncul klaim-klaim yang sejatinya ditolak posmo.
Kebenaran > kesesuaian apa yang kita pikirkan dengan kenyataan yang ada (korespondensi konsep dengan realitas) > kenyataan atau realitas itu apa? Bukankah klaim kebenaran hanyalah tafsiran bahasa? Atau dalam hermeneutika; tarsir yang disepakati.
Titik didih kejengkelan posmo pada modern adalah saat apapun yang tidak berasosiasi dengan kontruksi ilmiah diasumsikan seolah omong kosong. Padahal, seharusnya, tunggu dulu. Sabar. Sebab, faktanya yang kerap dianggap non-ilmiah itu punya penjelasannya sebab-akibatnya sendiri.
Sampai disini sebetulnya poin posmo adalah anti-totaliterisme.
Suatu hal yang diafirmasi Richard Rorty. Dia mengkritik filsafat modern dan sains yang mengklaim bisa menjelaskan semua realitas semesta, juga bisa menjawab semua pertanyaan ihwal dunia. Menurutnya, apabila pertanyaan sains mudah didapatkan, atau bersifat final, akan menghasilkan kebudayaan yang dibekukan dan dehumanisasi manusia. Dampaknya, apabila demikian, menyangkal kodrat kontingensi diri manusia. Juga stagnasi budaya. Padahal, kita semua di dunia adalah proses pencarian yang tak pernah selesai: mengembangkan kemungkinan yang dimiliki untuk mengafirmasi kebebasan. Mengembangkan potensi yang mungkin tidak terpikirkan sebelumnya.
Kritik untuk Postmodernisme
Salah satunya dari para pemikir Mazhab Frankfurt. Filsuf seperti Habermas beranggapan bahwa term yang diusung seharusnya Most Modern. Sebab itu adalah konsekuensi radikal dari fondasi pemikiran modern yang sedari awal mempertanyakan keabsahannya sendiri.
Selain itu, posmo kadang sudah kelewatan liarnya. Ia mengobrak-abrik tanpa membangun. Ia mengkritisi tanpa solusi. Dan memuarakan segala diskusi pada konstruksi. Posmo, pada titik tertentu, seolah lupa, bahwa bagaimanapun manusia, secara aktif menerjemahkan dunia, seperti kata Kant. Ia bukan objek pasif penerima apapun yang dicekoki oleh raksasa bernama kekuasaan. Manusia masih bisa, memaknai dunia ini secara independen, tanpa kemudian dituduh habis-habisan bahwa independensinya ada di bawah kekuasaan tertentu. Manusia masih ada, berpikir, merasa, berkehendak bebas, dan kelak, jika mereka mau, mampu meruntuhkan posmo itu sendiri.
Sementara dari dalam negeri, ada pula kritik dari pengasuh rubrik logika indoprogress: Dede Mulyanto.
Beliau menguraikan pandangan tajamnya dalam tulisan yang diberi judul 'ilmu dan pembebasan':
"Kritik atas ilmu itu perlu. Kalau teori ilmu kemasyarakatan masih dianggap mentah, itu alasan terkuat kita untuk mencoba lebih keras lagi, bukannya memalingkan muka pada wangsit, seperti yang diwartakan para pendekar posmo dari kafe-kafe dan kampus-kampus nan beradab mereka."
Lebih lanjut, beliau menegaskan bahwa ilmu dapat mendorong upaya penemuan jawaban terbaik dari semua kemungkinan jawaban atas persoalan. Karenanya, ilmu anti-kemajemukan. Ilmu mengusahakan perian yang tegas terukur, jelas batas, ringkas, dan hemat asumsi dalam menjelaskan realitas. Ilmu memang tidak bisa menyelesaikan semua persoalan karena ilmu tidak bisa mengetahui semuanya. Ada ranah-ranah pengalaman manusia yang tak dapat dijangkau penyelidikan ilmiah. Ilmu juga tertanam secara sosial dan terkonstruksi secara kultural. Dan ilmu memang bukan bidang pengetahuan yang bebas dari paparan bias kepentingan kelas atau golongan sosial. Tapi, alih-alih memalingkan muka ke bidang pengetahuan pra- atau non-ilmiah, beliau, menyentil para pemikir posmo yang lebih mengesampingkan metode ilmu. Malah kembali ke mitos.
Padahal, metode dan piranti pengetahuan ilmiah itu seharusnya terus-menerus diperbaharui, temuannya harus dikritik melalui pengujian dan pengujian ulang dengan teknik dan piranti pengamatan yang semakin lama harus semakin dapat menjauhkannya dari paparan bias subjektif. Dalam hal ini, beliau mengambil studi kasus ala marxian yang, alih-alih menghakimi ekonomi-politik klasiknya Adam Smith dan David Ricardo sebagai ilmu borjuis lalu merangkul astrologi atau sihir sebagai sarana penjelas eksploitasi kapitalistik, tapi mereka memperbaharuinya melalui temuan ilmiah: kritik ilmu ekonomi-politik. Itulah seharusnya yang dipikirkan kaum posmo. Sementara posmo malah menyerang keseluruhan usaha ilmiah.
Seharusnya, meski kritis terhadap pondasi empiris, logis, dan moral ilmu, kita tidak lantas meninggalkan ilmu. Sebab, kehidupan sosial manusia mesti diselidiki dengan metode-metode ilmiah. Mengapa harus bersikukuh pada pengilmiahan pengetahuan ihwal kehidupan sosial manusia? Kita bisa terka jawabannya dengan menengok dunia, tempat kita sendiri tinggali. Setiap hari di dunia ini, perang-perang (dengan asumsi dasar: ekonomi!) terjadi, sementara kemiskinan makin hari makin tak terentaskan, dan udara serta air menjadi makin beracun (krisis ekologis). Setiap hari, nyaris 100.000 anak-anak di belahan dunia mati karena penyakit yang sebetulnya tak sulit dicegah. Setiap hari, populasi penjara mencapai rekor baru. Meskipun perang dingin global berakhir dengan runtuhnya Uni Soviet, tapi sejak 1990an perang-perang panas di banyak wilayah tak kunjung beres. Koran dan media sosial tidak mewartakan keseluruhan cerita, tapi mereka mengabarkan cukup bahwa kaum miskin dan nir-kuasa yang menjadi “Yang Liyan” bagi para posmo, terlalu sering kurang gizi, digusur, dipenjara, disiksa, ditembak, dan cukup umum jatuh ke kolam batas keniscayaan hidup.
Masalah dunia adalah soal fakta, bukan fiksi. Dunia macam ini adalah realitas bagi miliaran orang, bukan sekadar diskursus. Bagi siapa saja yang berharap melakukan sesuatu atasnya, persoalan sebab-musabab dan relasi determinasi yang kata kaum posmo ialah narasi totaliternya ilmu tak berperi kemanusiaan, tak bisa dihindari. Kenapa? Karena untuk mengubah hal-hal di dunia nyata ini kita harus membuat semacam perkiraan tentang bagaimana hal-ihwal itu berlaku dan bagaimana diubah. Asas-asas dan metodologi ilmu itu menyediakan kita sarana untuk meninjau pilihan-pilihan. Kita harus istiqomah berpandangan bahwa mengembangkan studi kemasyarakatan sebagai ilmu yang menyediakan panduan bertindak, yang diarahkan pada masalah-masalah sosial fundamental, dan menemukan jalan lain efektif terhadap konsekuensi brutal dan penurunan derajat manusia dari sistem eksploitatif yang dibiarkan berjalan apa adanya. Minat berkelanjutan pada teori-teori yang ditopang metodologi ilmu itulah yang merupakan kunci pembebasan. [3]
Bagaimana dengan Sastra?
Setelah melewati wacana kritik atas kritik postmodernisme terhadap filsafat modern seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, maka sudah selayaknya kita melakukan refleksi sejenak. Sebab, ada momen dalam hidup, yang sekilas mirip seperti pangkalan: menandai usainya suatu periode sekaligus menunjukkan suatu arah baru. Dalam periode peralihan semacam itu, kita merasa dipaksa untuk mempertimbangkan masa lalu dan masa sekarang dengan mata elang pemikiran agar menyadari posisi aktual.
Kali ini, kita tengok sejenak lapangan kesusastraan, yang mana koeksistensi antara pendidikan dengan sastra, secara tegas digaungkan oleh Pramoedya. Lewat mulut Magda Peters, guru Minke, tokoh dalam Bumi Manusia, beliau menyampaikan: "Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai,"
Maka, untuk menopang upaya memahami kompleksitas kenyataan hidup, kiranya karya sastra dapat membantunya. Tentu diseimbangkan dengan penggunaan sains. Apabila sains penting untuk menangkap fakta dan pola. Seni (sastra) penting untuk menangkap makna, imajinasi dan rasa.
Akan tetapi, terdapat persoalan serius yang menghadang kita. Menurut penelitian PISA [4] yang rilis beberapa tahun silam, bahwa anak-anak muda Indonesia, ternyata umumnya “buta huruf”, bukan dalam arti secara harfiah tidak bisa membaca, melainkan buta huruf secara fungsional, functionally illiterate. Artinya, bisa membaca, namun kemampuan mencerna dan mengolah isi bacaan menjadi visi pribadi itu rendah sekali. Dengan kata lain, yang rendah adalah kemampuan analisis dan sintesisnya.
Masalah yang lebih serius adalah, daya-baca yang rendah itu berakibat fatal. Di antaranya yaitu: pikiran menjadi picik dan dangkal; apalagi di media sosial, orang cenderung bereaksi secara impulsif dan emosional, tak reflektif, bahkan latah. Bila seseorang berkomentar ke arah “A”, semua akan berkomentar serupa. Akibatnya, mudah terhasut; oversensitif; tak punya pendapat/sikap pribadi; atau kalaupun punya, pendapatnya seringkali klise, tak memperlihatkan pengolahan pikiran secara personal; bermental kawanan (massif); sikap serba hitam-putih dan dogmatis sekali, hanya seputar benar atau salah, boleh atau tidak boleh, ada gunanya atau tidak. Yang dalam term Jacques Derrida disebut oposisi biner.
Masalah ini memang memiliki akar sejarah yang panjang. Di negara maju, budaya-baca-tulis itu telah dibentuk dalam periode yang sangat lama, sekurang-kurangnya sudah sejak kemunculan teknologi cetak Gutenberg pada Abad ke-16-an. Sejak itulah terjadi demokratisasi pengetahuan, sebab buku-buku tersedia bagi semua orang, dan orang mulai mengembangkan sikap reflektif serta nalar kritis dengan membiasakan diri membaca. Bila dihitung, tradisi membaca di negara maju itu sudah berlangsung lebih dari 400-an tahun. Jadi, sebelum mereka masuk ke kultur digital atau budaya gambar atau budaya tontonan masa kini yang cenderung menawarkan tulisan serba singkat dan ringan, mereka telah dibentuk oleh kebiasaan membaca tulisan-tulisan panjang dan buku-buku tebal. Mereka telah melalui budaya baca-tulis yang membiasakan berpikir mendalam.
Di negara-negara maju, budaya baca-tulis yang telah sedemikian merakyat itu adalah fondasi bagi berkembangnya sikap reflektif dan pola pikir kritis ilmiah modern. Di Indonesia, ketika budaya baca-tulis modern belum lagi terbentuk cukup matang, kita sudah langsung diterkam oleh budaya tontonan dan media sosial, yang sangat mengandalkan gambar dan diam-diam menyeret kita kembali ke suasana budaya lisan-tontonan.
Alhasil, kultur digital, internet dan media sosial bagi kita hanyalah semacam kepanjangan budaya bergosip di warung kopi saja. Tampangnya berbeda, tapi isinya sama: warungnya saja yang menjadi digital. Maka itu, media sosial hanya menjadi tempat nongkrong, jual-tampang, bergosip, atau berbelanja saja. Belajar mengeja dan membaca secara agak merata (tidak elitis) baru kita alami ketika pendidikan dasar mulai merata, dan itu sebetulnya baru sejak era Reformasi 1998—artinya baru sekitar 20 tahunan. Itu pun kini dihadapkan pada problem mendasar; sulit dijangkau karena bukunya mahal!
Padahal —merujuk catatan prof. Bambang, pentingnya membaca sekurang-kurangnya bisa dilihat dari dua aspek.
Pertama, aspek informatif: membaca sebagai kegiatan menghimpun informasi. Dari sudut ini, membaca buku menjadi penting karena:
- buku adalah gudang ide sumber pengetahuan, yang berkembang terus tanpa batas. Buku adalah dokumentasi khazanah pengetahuan yang telah menjadi tradisi sangat tebal dan panjang. Kita tak pernah mulai dari nol. Maka betapa pun briliannya, kita akan dapat menemukan gagasan hebat hanya bila kita menaiki punggung ‘gajah’ atau pundak para pemikir hebat sebelumnya. Ini salah satu paradoks dalam hidup. You find yourself through the others. Kita hanya akan menemukan kecerdasan diri kita melalui kecerdasan-kecerdasan orang lain. Betapa pun jeniusnya, tanpa membaca, kecerdasan kita akan tetap tersembunyi dan tidak berkembang; persis seperti halnya Kita hanya akan menemukan siapa diri Kita jika bergaul dan terbuka terhadap orang lain. Sebaliknya, semakin kita menyendiri dan tertutup, semakin tidak memahami siapa diri kita.
- buku, adalah peta peradaban manusia yang luas dan dinamis. Untuk memahami dunia-manusia, kita tidak cukup hanya mengenal orang-orang di sekeliling —dalam arti keluarga, tetangga, atau teman-teman. Kita perlu mengenali bangsa manusia dari berbagai tempat dan zaman; kejayaan dan kejatuhan mereka; perbedaan dan kesamaan antara mereka; hasil karya mereka yang paling menakjubkan, tapi juga kecenderungan mereka yang paling berbahaya, dan sebagainya.
- buku adalah rekaman kecerdasan dan kedalaman pemikiran. Orang kadang bertanya-tanya, “pikiran mendalam” itu seperti apa. Ini tidak bisa dijawab. Kedalaman itu hanya bisa diketahui sejauh orang membaca. Mungkin kita mengira pikiran kita begitu brilian, orisinal, dan mendalam, tetapi setelah membaca pikiran para filsuf besar, barulah Kita tersadar bahwa pikiran kita itu ternyata hanyalah catatan kaki kecil saja dari pikiran mereka. Sensibilitas (kepekaan) tentang apa yang mendalam itu hanya terbentuk sejauh kita membaca. Semakin banyak membaca, semakin tebal buku yang kita baca, semakin kita diseret masuk ke lapisan-lapisan realitas kehidupan yang lebih jauh, lebih pelik, dan lebih dalam.
Kedua, aspek formatif: membaca sebagai proses pembentukan daya pikir dan pemberdayaan individu. Dari aspek ini, membaca juga penting karena: memperdalam cara pandang dan memperluas imajinasi. Ini terutama kalau kita membaca novel. Novel merekam jatuh-bangunnya manusia, merekam kerumitan emosi dan imajinasi manusia. Bila buku-buku ilmiah bernilai karena berisikan gagasan-gagasan yang bersifat universal, novel berharga justru karena dia merupakan tulisan individual; bagaimana kehidupan dijalani secara unik dan dipahami dari perspektif pribadi. Ini penting untuk lebih memperjelas bahwa bagi setiap orang, hidup itu memang dialami dan dipahami secara berbeda-beda. Hidup manusia adalah soal makna, soal apa yang dirasa berharga, apa yang diimajinasikannya sebagai cita-cita. Dan ini memang bersifat pribadi, terkait pada pengalaman, perasaan, imajinasi, impian, yang memang berbeda-beda. Makin banyak kita membaca novel, semakin kita masuk ke dalam aneka bentuk kehidupan yang sebetulnya pelik. Misalnya, apa sebenarnya yang membuat seseorang itu menderita, termotivasi bekerja, berjuang, terluka, bermimpi; apa yang dianggapnya bahagia, dan sebagainya. Dengan cara itu, empati dan toleransi kita terhadap sesama manusia ditumbuhkan dan diperdalam. Menurut prof. Bambang, membaca novel sebenarnya bukan sekadar pengisi waktu luang atau hiburan (meski saya sendiri masih menganggapnya demikian), meskipun memang menyenangkan.
Di negara maju, sejak sekolah dasar, anak-anak dibiasakan membaca novel-novel klasik, seperti karya Alexander Dumas, Victor Hugo, dan sebagainya. Di negara maju pula, para sastrawan besar memang dikategorikan satu kolam dengan para filsuf, sebab mereka itu sesungguhnya perenung, yang menyelami dilema, misteri, dan dinamika kehidupan manusia. Mereka mampu merumuskan secara mendalam dan menyentuh hal-hal yang biasanya tak terumuskan.
- membaca memperbaiki keterampilan berbahasa dan berkomunikasi. Kalau Anda tak membaca, kemampuan komunikasi dan keterampilan menulis Anda pasti buruk. Dan itu sumber penyakit di Indonesia hari ini. Padahal, kebiasaan membaca akan mengakrabkan kita dengan frasa-frasa, kalimat-kalimat, atau alur nalar, yang bagus dan mendalam. Dengan itu, otomatis kita akan menggunakan keterampilan serupa ketika harus menulis.
- membaca melatih konsentrasi dan fokus. Anak-anak yang lahir di era sekarang sepertinya bakal sulit berfokus, karena di dunia digital, konsentrasi selalu terpecah (distracted concentration). Membaca buku—terutama yang tebal—membantu melatih fokus dan konsentrasi.
- membaca memperkuat daya ingat: mengingat tokoh-tokoh dan alur cerita pada novel, mengingat isi gagasan dan alur nalar pada buku wacana.
- membaca dapat membantu meringankan gejala depresi. Filsuf Inggris, Sir Roger Scruton pernah menulis, “Consolation from imaginary things is not an imaginary consolation” atau "Penghiburan dari hal-hal imajiner bukanlah penghiburan imajiner." Orang dengan depresi sering merasa terisolasi dan terasing dari orang lain, dan itu adalah perasaan yang terkadang bisa dikurangi oleh buku bacaan. Membaca sastra memungkinkan Anda untuk sementara waktu melarikan diri dari dunia Anda sendiri dan terhanyut dalam pengalaman khayalan para karakter. Itulah mengapa United Kingdom’s National Health Service mulai menjalankan program Reading Well, yaitu sebuah program yang merekomendasikan buku yang telah dikurasi oleh ahli medis khusus untuk kondisi tertentu. [5]
- Joseph Brodsky, penyair Rusia, pada suatu kali, berujar bahwa 'Ada kejahatan yang lebih mengerikan daripada membakar buku, yaitu tidak membacanya.'
**
Demikianlah. Semoga saja, kerja-kerja kami di Menlit nantinya bisa sedikit berkontribusi dalam menyelesaikan beberapa persoalan literasi —yang bila diabaikan, bisa mendorong kita kepada penghancuran diri sendiri secara konyol tanpa disadari— sekurang-kurangnya dalam konteks internal Unipi. Dengan itu pula, dapat kita simpulkan, bahwa penting untuk mengkaji filsafat dan sastra, untuk dapat memperdalam dan memperluas kemanusiaan kita, juga membimbing kita ke tingkat keadaban lebih tinggi. Selain, dapat memahami dan memeriksa lebih jauh setiap persoalan-persoalan yang kita hadapi saat ini.
Catatan kaki:
[1]. Benedict Richard O'Gorman Anderson, lahir di Kunming, 26 Agustus 1936 – meninggal di Batu, Malang, 12 Desember 2015 pada umur 79 tahun, adalah seorang Ilmuwan sosial dan pakar politik dunia. Ia menyandang jabatan kursi Aaron L. Binenkorb sebagai Profesor Emeritus Kajian Asia, Pemerintahan, dan Internasional di Universitas Cornell.
Seumur hidupnya, Om Ben, begitu ia disapa, telah menulis lebih dari 400 publikasi yang telah diterjemahkan ke lebih dari 20 bahasa. Bukunya juga banyak membahas mengenai perkembangan politik di Indonesia. Sebut saja Some Aspects of Indonesian Politics under the Japanese Occupation: 1944-1945; Mythology and the Tolerance of the Javanese; dan Violence and the State in Suharto's Indonesia.
Om Ben juga salah satu pengkaji Asia Tenggara paling terkemuka di dunia. Bukunya, "Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism" adalah karya klasik dalam ilmu sosial dan ilmu politik. Karya-karya Om Ben lainnya termasuk Debating World Literature, dan Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia.
[4]. PISA (Programme for International Student Assesment) adalah penilaian siswa skala besar (internasional). PISA disponsori OECD (Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan). PISA bertujuan mengevaluasi sistem pendidikan dari 72 negara di dunia. Evaluasi berlangsung tiga tahun sekali. Yang dinilai siswa-siswa berusia 15 tahun dari sekolah-sekolah yang dipilih secara acak. Tes ini bersifat diagnostik yang salah satu manfaatnya untuk perbaikan sistem pendidikan di negara anggota OECD.
PISA memonitor dan membandingkan hasil pendidikan dalam soal literasi membaca, literasi matematika dan literasi sains.
*Menteri Penelitian dan Isu Strategis BEM Universitas Persatuan Islam
Comments