top of page
Search

Peran Cendikiawan Islam

Writer's picture: Bem UnipiBem Unipi

Oleh : Yogi Esa Sukma Nugraha*


Seperti yang telah kita ketahui bersama, kendati terjadi pro dan kontra soal keberadaan filsafat dalam Islam, namun faktanya tidak sedikit tokoh Muslim yang diakui sebagai filsuf terkenal. Di antara mereka bahkan senantiasa menjadi rujukan para filsuf yang datang setelahnya. 


Sehubungan dengan hal itu, perkenankanlah kami untuk mengulas beberapa ilmuwan dan filosof Islam era klasik — juga beberapa dari era modern. Namun, ulasan ini tidak mempunyai pamrih untuk membentangkan kiprah para cendikiawan islam itu secara komperhensif. Selain karena pengetahuan dan pemahaman masih terbatas, juga oleh karena begitu luasnya cakupan kiprah para cendikiawan yang menopang kejayaan Islam (khususnya di era Dinasti Abbasiyah). Untuk itu, uraian ini hanya bersifat sebagai introduksi, atau sebuah pengantar.


Beberapa catatan sejarah merekam, bahwa di era klasik, Islam sangat hebat dalam bidang sains maupun filsafat. Terbukti dengan banyaknya jumlah ilmuwan dan filosof muslim yang mampu memberikan kontribusi dalam ilmu pengetahuan. Cendikiawan yang tidak hanya menafsirkan dunia, tapi mampu memberi warna di dalamnya. 


Dan atas dasar fakta kehebatan masa silam, serta harapan bahwa kebudayaan Islam —melalui para ilmuwan dan pemikir muslim— pernah, sedang, dan akan (terus berupaya!) memberikan sumbangan pada peradaban manusia melalui ilmu pengetahuan. Dengan demikian, kami mencoba merangkum beberapa di antaranya.


Berikut uraiannya, mulai yang pertama,


Al-Kindi


Filsuf Muslim yang pertama muncul adalah Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq al-Kindi, atau lebih dikenal dengan sebutan al-Kindi. [1] Beliau berasal dari keturunan bangsawan Arab dari suku Kindah, suku bangsa yang pada masa sebelum Islam bermukim di wilayah Arab Selatan. Al-Kindi dilahirkan di Kufah. Ayahnya adalah gubernur Basrah pada masa Dinasti Abbasiyah, al-Hadi (169-170 H/785-786 M) dan Harun ar-Rasyid (170-194 H/786-809 M).


Ibnu Abi Usaibi’ah, pengarang Tabaqat al-Atibba’, mencatat bahwa al-Kindi sebagai salah satu dari empat penerjemah mahir pada masa gerakan penerjemahan. Ia terutama sekali ikut memperbaiki terjemahan Arab dari sejumlah buku. Selain itu, aktivitasnya lebih banyak tertuju pada upaya menyimpulkan pandangan-pandangan filsafat yang sukar dipahami.


Jumlah karya tulis al-Kindi cukup banyak, yakni 241 buah risalah dalam bidang filsafat, logika, psikologi, astronomi, kedokteran, kimia, matematika, politik, optik, dan lain-lain. Sayangnya, kebanyakan karya tulisnya itu tidak atau belum dijumpai. Baru sekitar 25 buah karyanya yang berhasil ditemukan, yang kemudian diterbitkan dalam dua jilid. Jilid pertama pada tahun 1950 dan jilid kedua pada 1953 di Kairo, dengan judul Rasa’il al-Kindi al-Falsafiyyah.


Al-Kindi juga dijuluki sebagai filsuf Arab. Itu karena ia satu-satunya yang murni berdarah Arab. Dia pernah memperoleh penghargaan tinggi dari Khalifah Al-Mu’tasim, tapi juga pernah mengalami perlakuan buruk dari pihak-pihak yang iri kepadanya atau benci kepada filsafat.



Al-Farabi


Nama aslinya Abu Nasr Muhammad Bin Muhammad Bin Lharkhan ibn Uzalagh al-Farabi, lahir di kota Wesij tahun 259H/872, selisih satu tahun setelah wafatnya filosof muslim pertama yaitu al-Kindi. Ayahnya menikah dengan wanita Turki kemudian ia menjadi perwira tentara Turki. Atas dasar itulah al-Farabi dinasabkan sebagai orang Turki. Karir pemikiran filsafatnya dalam menjembatani pemikiran Yunani dan Islam terutama dalam ilmu logika (manthiq) dan filsafat sangat gemilang, sehingga gelar sebagai guru kedua (al-mu’allim tsāni), layak disematkan. [2] Perlu segera dicatat bahwa, Baghdad saat itu termasuk pewaris utama tradisi filsafat dan kedokteran Alexandria. Pertemuan dan pergumulan pemikiran di Baghdad nantinya menjadi konektor pemikiran al-Farabi yang meramu filsafat Islam dengan filsafat Yunani Neo-Platonis. Karir pendidikannya cukup panjang hingga pada tahun 330/941 M.


Pandangan filosofisnya unik, mengenai "Negara Kota" yang kemudian dilanjutkan dengan konsepsi yang dinamai dengan negara utama. Sebuah konsep yang melampaui jamannya, yang kemudian populer secara praksis dari zaman rennaissance pada abad ke-15 sampai berkembangnya prinsip nasionalis sampai saat ini.


Dalam konteks filsafat al-Farabi mengenai negara utama ia menuangkan dalam karyanya monumentalnya Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah yang banyak diilhami dari konsep Yunani, terutama konsep negara ideal Plato. 


Secara ringkas al-Farabi dalam karyanya al-Madīnah al-Fadhīlah itu menyatakan bahwa kecenderungan manusia hidup bersosial dengan orang lain yang kemudian melalui proses yang panjang terbentuklah sebuah negara. Dari Negara tersebut mereka hendak mencapai kebahagiaan bersama, indikasi kebahagiaannya adalah tercukupinya sandang, pangan, papan dan keamanan kebahagiaan yang dicita-citakan tersebut bisa dicapai dengan cara membentuk sebuah negara yang disebut negara utama.


Lebih lanjut, untuk kriteria pemimpin yang ideal menurutnya adalah, fisik sempurna, cerdas, mempunyai pemahaman yang baik, pandai memberikan pemahaman kepada orang lain, cinta terhadap ilmu pengetahuan, tidak rakus terhadap makanan, pandai bersosialisasi dengan orang lain, mempunyai sifat berjiwa besar, tidak memandang kekayaan dunia adalah segala-galanya, berlaku adil dan membenci kedzhaliman, serta memiliki keseriusan yang tinggi terhadap sesuatu yang dianggap penting. 


Menurut pendapat al-Farabi, Nabi Muhammad SAW adalah seorang pemimpin yang sama persis seperti pemimpin yang dikonsepsikan oleh Plato, yakni seorang ideal yang telah mampu mengungkapkan kebenaran universal yang bisa dimengerti oleh berbagai kalangan. 


Adapun sebagai pemimpin sebuah negara, negara utama haruslah dipimpin oleh seseorang yang mempunyai pengetahuan yang luas, akal yang jernih dan mempunyai kemampuan daya pikir yang kuat, pemimpin yang demikian ini tidak lain —dalam konteks hari ini— adalah seorang filosof.


Al- Farabi meninggalkan Baghdad menuju Aleppo kemudian ke Kairo dan menghembuskan nafas terakhirnya di Damaskus, tepatnya pada bulan Rajab pada tahun 339 H atau Desember 950 M.



Ibnu Rusyd


Ibnu Rusyd lahir di Cordoba, Spanyol, pada 520 H (1126 M) dengan nama lengkap Abu al Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd. Saat itu, Cordoba merupakan kota paling menonjol dan terkenal keilmuannya di Andalusia (Spanyol). Di Barat, ia dikenal dengan nama Averoes. Dia adalah seorang dokter, ahli hukum, dan filosof paling popular pada periode perkembangan filsafat Islam (700-1200).


Ibn Rusyd tumbuh di tengah keluarga yang memiliki tradisi keilmuan yang kuat. Ayah dan kakeknya pernah menjadi kepala pengadilan di Andalusia. Ia sendiri pernah menduduki beberapa jabatan: antara lain sebagai qadli (hakim) di Sivilla dan sebagai qadli al-qudlat (hakim agung) di Cordoba.


Sejak kecil, ia mempelajari Alquran, tafsir, hadits, fikih, dan sastra Arab. Setelah dewasa orientasinya tertuju pada ilmu. Dalam hal ini, ia mendalami matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat, dan ilmu kedokteran. Wajar jika kemudian ia dikenal sebagai ahli dalam berbagai cabang ilmu. Kebesaran dan kejeniusan Ibnu Rusyd tampak pada karya-karyanya. Kritik dan komentarnya itulah yang menjadikannya terkenal di Eropa. Ulasan-ulasannya terhadap filsafat Aristoteles berpengaruh besar di kalangan ilmuwan Eropa. Selain itu, ia juga banyak mengomentari karya filosof Muslim pendahulunya: al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Bajjah, dan al-Ghazali. Ide-ide Ibnu Rusyd menjadi kian populer, terutama setelah terjadinya polemik antara pemikirannya dengan pemikiran cendekiawan Muslim yang juga ahli kalam, Al Ghazali. Perbedaan pandang antara kedua Muslim yang masyhur itu menjadi tema menarik yang banyak dibicarakan di abad pertengahan. Kitab penting Imam Ghazali yang berjudul Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Pemikiran Para Filsuf) lalu dibalas dengan kitab Tahafut al-Tahafut (Kekacauan dalam Kekacauan), yang ditulis khusus untuk menjawab kitab Tahafut al-Falasifah.



Al-Ghazali


Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad at-Tusi al-Ghazali. Ia merupakan ulama terkemuka yang amat berpengaruh di dunia Islam. Dalam bahasa latin, namanya dikenal dengan sebutan Algazel, dan sebutan inilah yang biasa digunakan oleh orang-orang barat (orientalis) untuk memanggilnya. 


Al-Ghazali lahir di Desa Ghazalah, dekat Thusia. Ia belajar di Tus, Jurjan, dan Nisabur. Ia kemudian bermukim di Mu’askar selama lima tahun dan di Baghdad selama lima tahun berikutnya. Di sana ia menjadi pemimpin dan guru besar Madrasah Nizamiyah Baghdad. Di sana pula ia berupaya keras mempelajari filsafat dan menunjukkan pemahamannya tentang filsafat dengan menulis buku berjudul Maqasid al-Falasifah (tentang pemahaman-pemahaman para filsuf).


Ia dikenal karena kemampuannya mengkritik dengan menulis buku Tahafut al-Falasifah. Buku tersebut ia tulis dalam rangka memberikan kesan tentang kelemahan atau kekacauan pemikiran-pemikiran para filsuf Muslim, seperti al-Kindi, al-Farabi, dan Ibnu Sina. Perdebatan mereka sangat layak disimak untuk menajamkan cara berpikir. Seperti yang diafirmasi Al-Ghazali sendiri, “Musuh yang bijak lebih baik daripada sahabat yang bodoh”.


Semasa hidupnya, Al-Ghazali dikenal sebagai fakih, mutakalim, dan sufi (meskipun demikian, ia kerap melakukan kritikan terhadap orang sufi yang melampaui batas. Ia sangat kritis terhadap orang sufi yang mempercayai teori inkarnasi dan penyatuan diri dengan Tuhan. Baginya, orang seperti itu menjauhkan logika dan akal, serta tidak bisa mengontrol).


Ia mahir berbicara dan amat produktif dalam mengarang. Karya tulisnya lebih dari 228 buku dan risalah. Karya tulisnya yang paling populer di dunia Islam adalah Ihya’ ‘Ulum ad-Din (Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama).



Ibnu Khaldun


Ibnu Khaldun secara luas dikenal sebagai pemikir, pelopor, sekaligus bapak ilmu sosiologi dan sejarah sains. Beliau lahir sekitar tahun 723 H (1332 M) di Tunisia dengan nama asli Abdullah al-rahman Ibnu Muhammad. Latar belakang keluarga beliau adalah imigran Seville (wilayah Spanyol berpenduduk Islam) yang kemudian hijrah ke Tunisia. Dengan semangat belajar dan keingintahuannya yang besar, beliau mempelajari matematika, astronomi, filsafat, literatur Arab — usai mendalami Al-Quran, dan hadist.


Muqaddimah adalah karya terkenalnya. Sekaligus yang kelak menempatkan namanya di antara nama-nama besar sejarawan, sosiologi, dan filsuf dunia. Hasil pemikirannya yang cemerlang dalam meninjau masalah manusia dan sejarah terlihat dalam bagian pertama bukunya, Al-'Ibar. [3] 


Salah satu subtansi pembahasan dalam bukunya yaitu konsep negara. Terkait konsep negara,  Ibnu Khaldun membahas tuntas terkait negara beserta hingga tata pemilihan kepala negara yang ideal. Inti pemikirannya adalah konsep politik dan negara yang mewujudkan tatanan negara yang bernuansa religius yang menjamin kemaslahatan umat manusia.


Perlunya negara bagi manusia menurut Ibnu Khaldun di latar belakangi oleh dua faktor yaitu: Pertama, menjamin rakyat untuk hidup berdampingan, tentram, serta bersama-sama berusaha saling melengkapi dalam rangka menciptakan berbagai kebudayaan untuk mempertahankan kehidupannya. Kedua, mempertahankan diri dan komunitas nya dari serangan pihak luar. Untuk mewujudkan hal tersebut, kepala negara berperan penting terhadap segala hal yang menjadi tanggung-jawabnya. Menurutnya negara harus memiliki ashabiyah yang kuat, yaitu sebuah solidaritas dan dukungan rakyat terhadap pemerintahan, arena semakin besar dukungan rakyat maka akan semakin kuat suatu negara. Lebih lanjut, mengenai pembentukan negara dan pengangkatan kepala negara, menurutnya merupakan suatu kewajiban. Hal tersebut didasarkan pada alasan syar'i kitab suci dan ijma' sahabat dan alasan kemanusiaan yaitu manusia merupakan makhluk sosial yang memiliki diferensiasi individual dan memerlukan sosok pemimpin yang adil. Tujuan praktis terkait konsep Ibnu Khaldun tersebut adalah acuan konsep moral yang ada pada masa kepemimpinan Rasulullah.


Dalam pemilihan kepala negara yang ideal, menurutnya proses yang dijalankan harus berjalan proporsional. Proses ini dilakukan oleh pihak-pihak terkait secara independen, objektif dan adil, tanpa bias subjektifitas kelompok mana pun. Terciptanya sebuah negara yang ideal perlu ditunjang empat kriteria psikologis yaitu Pertama, lingkungan yang sehat, udara, air, maupun tata letak bangunannya. Kedua, secara geografis terletak pada tempat yang strategis serta menjadi lalu lintas perdagangan dan perkembangan kebudayaan. Ketiga, terciptanya solidaritas sosial yang kuat. Keempat, terletak pada geografis yang subur dan kaya akan sumber dayanya. Bila keempat hal tersebut didukung dengan kepemimpinan kepala negara yang ideal maka akan mempercepat terwujudnya kemakmuran rakyat.


Selain itu, ulama sekaligus pemikir yang sering disebut sebagai raksasa intelektual terkemuka di dunia ini juga merupakan seorang ekonom mumpuni hingga dijuluki sebagai Bapak Ekonomi Islam. Julukan tersebut disematkan padanya lantaran ia telah banyak menelurkan teori ekonomi islam yang jauh mendahului Adam Smith dan David Richardo (keduanya tokoh yang membidani konsep kapitalisme).


Tinta emas sejarah bahkan mencatat, dalam mencetuskan sejumlah teori ekonominya, Ibnu Khaldun sudah lebih dari tiga abad mendahului para pemikir Barat modern tersebut.


Sebelum Ibnu Khaldun, kajian-kajian ekonomi barat masih bersifat normatif. Adakalanya dikaji dari perspektif hukum, moral dan ada pula dari perspektif filsafat. Karya-kaya tentang ekonomi oleh para ilmuan barat, seperti ilmuan yunani dan zaman Scholastic bercorak tidak ilmiah, karena pemikiran zaman pertengahan tersebut memasukkan kajian ekonomi dalam kajian moral dan hukum. Sedangkan Ibnu Khaldun mengkaji problem ekonomi masyarakat dan negara-negara secara empiris, ia menjelaskan fenomena ekonomi secara aktual.


Ibnu Khaldun menemukan keutamaan dan kebutuhan suatu pembagian kerja sebelum ditemukan Smith dan prinsip tentang nilai kerja sebelum Richardo. Ia telah mengolah teori ekonomi jauh sebelum Thomas Robert Malthus (pakar ekonom Inggris) dan mendesak peran negara di dalam perekonomian sebelum Keynes (juga ekonom Inggris). Bahkan lebih dari itu, Ibnu Khaldun telah menggunakan konsepsi-konsepsi ini untuk membangun suatu sistem dinamis yang mudah dipahami dimana mekanisme ekonomi telah mengarahkan kegiatan ekonomi Fluktuasi jangka panjang. Berikut beberapa subtansi pemikiran ekonomi yang dicanangkannya:


Teori tentang harga


1. Tingkat keuntungan yang wajar akan mendorong tumbuhnya perdagangan. Tingkat keuntungan yang rendah jika berlanjut bakal membuat perniagaan macet, dan pasar menjadi hancur serta modal tidak kembali.


2. Kemerosotan harga dari produk pertanian akan membawa kegoncangan petani, jika berlanjut petani akan jatuh pada kemiskinan modal mereka tidak kembali.


3. Kerendahan harga yang melampaui batas, serta kemahalan harga yang ekstrim akan merugikan kaum pedagang.


4. Emas dan perak merupakan logam mulia yang menjadi ukuran harga dan akumulasi modal/kapital, serta menjadi simpanan dan kekayaan bagi penduduk.


Teori sektor pertanian


Pertanian pada dasarnya merupakan sektor penghidupan yang dapat mendorong pertumbuhan sektor lain.


Teori sektor industri

Industri akan berkembang, jika permintaan konsumen meningkat dan industri akan bangkrut jika permintaan konsumen merosot.


Teori tentang mata Uang


1. Mata Uang sebagai alat pengukur harga barang


2. Fungsi Uang yang pertama sebagai alat penukaran dan kedua sebagai nilai kekayaan.


3. Kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya Uang disuatu negara melainkan ditentukan oleh tingkat produksi suatu negara.


Uang menurut Ibnu Khaldun


Ibnu Khaldun menegaskan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan banyaknya Uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi negara tersebut dalam neraca pembayaran yang positif.


Bisa saja suatu negara mencetak Uang sebanyak-banyaknya akan tetapi bila hal itu bukan merupakan refleksi, --misalnya-- pertumbuhan sektor produksi, maka Uang yang melimpah itu tidak ada nilainya.


Dengan kata lain, sektor produksilah yang menjadi motor pembangunan, menyerap tenaga, meningkatkan pendapatan pekerja dan menimbulkan permintaan atas faktor produksi lainnya.


Pendapat ini menunjukkan pula bahwa perdagangan internasional telah menjadi bahasan utama para ulama ketika itu. Negara yang telah mengekspor berarti mempunyai kemampuan berproduksi lebih besar dari kebutuhan domestiknya. Sekaligus menunjukkan bahwa negara tersebut lebih efisien dalam produksinya.


Sejalan dengan pendapat Al-Ghazali, Ibnu Khaldun juga mengatakan bahwa Uang tidak perlu mengandung emas dan perak untuk menjadi standar nilai Uang. Uang tidak mengandung emas dan perak merupakan jaminan pemerintah menetapkan nilainya. Karena itu, pemerintah tidak boleh mengubahnya.


Ibnu Khaldun selain menyarankan digunakannya Uang standar emas/perak, ia juga menyarankan konstannya harga emas dan perak. Harga-harga lain boleh berfluktuasi, tetapi tidak untuk harga emas perak.


Dalam keadaan Uang yang tidak berubah, kenaikan harga atau penurunan harga semata-mata ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan. Setiap barang akan mempunyai harga keseimbangan bila lebih banyak makanan dan yang diperlukan disatu kota, harga makanan menjadi murah demikian sebaliknya.


Terkait keseimbangan harga, di dalam bukunya berjudul "muqaddimah", Ibnu Khaldun menulis secara khusus satu Bab tentang “harga-harga di kota-kota”. Ia membagi jenis barang menjadi barang kebutuhan pokok dan barang mewah.


Lebih lanjut, menurut beliau, bila suatu kota berkembang dan selanjutnya populasinya bertambah banyak, harga-harga barang kebutuhan pokok akan mendapat prioritas pengadaannya. Akibatnya, penawaran meningkat dan ini berarti turunnya harga. Adapun untuk barang-barang mewah, permintaan akan meningkat sejalan dengan berkembangnya kota dan berubahnya gaya hidup. Akibatnya, harga barang mewah meningkat.


Ibnu Khaldun juga menjelaskan mekanisme, penawaran dan permintaan dalam menentukan harga keseimbangan. Secara rinci, ia menjabarkan pengaruh persaingan diantara konsumen untuk mendapatkan barang pada sisi permintaan.


Setelah itu, ia menjelaskan pula pengaruh meningkatnya biaya produksi karena pajak dan pungutan-pungutan lain di kota tersebut, pada sisi penawaran.


Ibnu Khaldun menjelaskan secara rinci, bahwa keuntungan yang wajar akan mendorong tumbuhnya perdagangan sedangkan keuntungan yang sangat rendah akan membuat lesu perdagangan karena pedagang akan kehilangan motivasi. Sebaliknya bila pedagang mengambil keuntungan sangat tinggi, juga akan membuat lesu perdagangan karena lemahnya permintaan konsumen.


Teori korelasi pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi


Bertambahnya penduduk akan menciptakan kreatifitas kerja, dan menambah kebutuhan kerja di masyarakat. Ibnu Khaldun mengaitkan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, seperti halnya Ibnu Taimiyah. Ibnu Khaldun dalam pemikiran ekonominya tidak bisa dilepaskan pula dengan pemikiran politiknya, menurutnya manusia itu pada dasarnya adalah:


1. Makhluk Politik (zoon politicon), Artinya manusia itu harus hidup bermasyarakat.


2. Manusia tidak bisa hidup sendiri secara individual dia membutuhkan orang lain.


Lalu, selain menelurkan teori ekonomi, beliau menggarap beberapa karya lainnya ketika menjalani hidup di Mesir yang ketika itu sedang mengalami kemerosotan (pendidikan anjlok, moralnya bobrok, dan sebagian besar masyarakatnya tidak merasa perlu belajar). Itulah kiranya yang membuat beliau dengan pemikirannya yang sangat tajam, rasional, dan analitik, menekankan pentingnya ilmu pembangunan kemasyarakatan atau yang saat ini biasa disebut sosiologi untuk menopang peradaban. [4]



Ibnu Sina


Abu Ali Al-Husayn Ibn Sina yang di Eropa lebih dikenal dengan nama “Avicenna” merupakan salah satu ilmuwan besar dalam tradisi keilmuan Islam klasik. Namanya masyhur bukan hanya di dunia Islam, melainkan di seantero dunia. Ia lahir di Afshana. Sebuah kota di dekat Bukhara (Asia Tengah) sekitar tahun 370 H/ 980 M.


Ibnu Sina termasuk salah satu sarjana yang produktif dalam menulis. Ia telah menghasilkan sejumlah karya dalam berbagai disiplin ilmu yang dikuasainya. Dari filsafat, kedokteran, hingga tentang musik. Sekurangnya ia telah menulis empat ratus lima puluh karya. Meskipun tidak seluruhnya sampai ke tangan kita hingga hari ini, sekurangnya ada 240 karyanya yang tersimpan di Perpustakaan Sulaymaniyah di Istanbul yang menjadi “tuan rumah” bagi manuskrip karya Ibnu Sina. [5] 


Sejarah pemikiran filsafat telah mencatat Ibnu Sina sebagai seorang filsuf muslim yang luar biasa. Tidak hanya mewarisi sistem berpikir, namun ia adalah satu-satunya filsuf besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim selama beberapa abad. 


Beliau sangat menguasai metafisika Aristoteles. Selain itu, juga mendalami filsafat Al-Farabi. Adapun karyanya yang terkenal As-Shifa, An-Najat, dan Al-Isyarat. Di dalamnya, beliau menunjukkan dasar pijakan berfilsafat dalam tradisi keilmuan Islam dengan metode-metode yang dilengkapi argumen-argumen ketat. 


Di bidang psikologi, jauh sebelum Carl Jung dan Sigmund Freud tampil ke permukaan, [6] ternyata Ibnu Sina telah menemukan dasar-dasar psikologi modern. Ibnu Sina mempelopori psikofisiologi, psikosomatik, dan neuropsikiatri, dan temuannya ini dituliskan dalam jurnal. Beberapa penyakit yang dibahas dalam jurnal tersebut diantaranya halusinasi, insomnia, demensia, dan vertigo. [7]



Muhammad Iqbal


Muhammad Iqbal dilahirkan di Sialkot, Pakistan, pada 22 Februari 1873. Selain dikenal sebagai seorang pembaharu gerakan Islam di Pakistan, politikus, reformis, juga dikenal ahli perundang-undangan, serta filsuf. Nama lengkapnya adalah Muhammad Iqbal bin Muhamad Nur bin Muhammad Rafiq. [8]


Selain itu, beliau dikenal pula sebagai penyair yang berbakat. Untaian prosa dan puisinya mampu menyentuh nurani serta menggetarkan jiwa. Tulisan dan pidatonya pun mengobarkan semangat juang, terutama di kalangan generasi muda umat Islam. 


Pendidikan formal ditempuhnya di Universitas Lahore. Tahun 1897, Ia mendapatkan gelar Bachelor of Arts (BA) untuk jurusan Filsafat, Bahasa Arab, dan Sastra Inggris. Selanjutnya, pada 1899, Iqbal menyelesaikan pendidikan pascasarjana (S-2) dengan gelar Master of Arts (MA), juga dari Universitas Lahore. Adapun gelar doktoralnya ia dapatkan dari Universitas Cambridge, London. Dalam bidang filsafat, ia mampu menyerap dengan cepat pemikiran barat. Istimewanya, hal itu tak mengubah sedikit pun keyakinan dan pijakannya terhadap Islam. Meskipun mengenyam pendidikan barat, akan tetapi pada akhirnya Iqbal mengecam dunia Barat (terutama Imperialismenya!). Sebab, melalui pendidikan, ia memperoleh banyak pengetahuan akan filsafat barat terutama Hegelianisme dan Neo-Kantianisme. [9]


Muhammad Iqbal mengatakan bahwa agama dapat memberikan gambaran dan pemahaman mengenai dunia kenyataan secara lengkap dan menyeluruh, maka dari itu agama mempunyai kedudukan yang pertama dan utama. Agama tidak dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan, namun agama lebih merupakan penyempurna yang dapat mengimbangi pemikiran yang diperoleh dalam ilmu pengetahuan.

 

Dalam pandangannya, Agama adalah sumber yang demikian penting bagi kehidupan manusia, sehingga hal-hal yang bersifat religius dapat diraih untuk kemaslahatan umat manusia. Lebih lanjut, Muhammad Iqbal menegaskan bahwa sikap tauhid mengandung arti menyerahkan semua permasalahan kepada Allah yang diawali dengan usaha atau ikhtiar, maka dari itu sikap tauhid menjiwai hak-hak asasi manusia. Karya Muhammad Iqbal mengungkapkan bahwa bila tauhid diterapkan dan dilaksanakan dalam hidup sehari-hari, maka akan menjadi obat yang mujarab untuk menghilangkan rasa takut, sifat pengecut dan putus asa. Hal tersebut terejawantahkan dalam puisinya:


“Wahai, engkau yang terkurung 


dalam tempurung ketakutan, 


Galilah hikmah ajaran Rasul yang terumus dalam laa tahzan!


Bila benar-benar kau beriman kepada Ilahi,


Bebaskan dirimu dari segala ketakutan!


Dan segala perhitungan untung-rugi!


Segala bentuk ketakutan selain kepada Allah 


Menghambat segala tepak terjang.


Ketakutan adalah laksana perompak


Yang mengancam, menjegal kafilah, 


Yang sedang melaju di perjalanan hidup!


Hidup tidak lagi mencerminkan diri!


Dan mereka yang benar-benar memahami

 

ajaran Muhammad Saw,


Akan menangkap basah diri syirik


Yang bersembunyi di dalam lubuk takut!


*


Dalam perkembangan selanjutnya, Iqbal dihadapkan pada keadaan dunia yang waktu itu dikecamuk perang. Muhammad Iqbal membenci paham nasionalisme sempit (chauvinism, serupa Hilter di Jerman) yang menurutnya merupakan sumber malapetaka politik Internasional. Iqbal kemudian tertarik kepada pergerakan dan perjuangan berbagai bangsa yang dijajah dan ditindas. 


Saat itu, Iqbal memberikan peringatan kepada bangsa Eropa terhadap akibat yang akan menimpa dunia Barat, jika tetap bersandar pada imperialisme. Sehubungan dengan itu, Iqbal menulis puisi sebagai berikut:


“Wahai bangsa Barat, 


Bumi Tuhan bukanlah toko,


Emas yang engkau sangka murni, 


Kini ternyata bernilai rendah,


Kebudayaan bekal bunuh diri dengan pandangan sendiri,

 

Sangkar atas dahan yang lapuk tidaklah bisa menjadi aman”


*


Ketika anak benua India terlibat meraih perjuangan meraih kemerdekaan, Iqbal terjun ke ranah politik. Pada tahun 1930 ia diangkat menjadi Presiden Liga Muslimin (dengan mencetuskan gagasan pembentukan Negara Pakistan) dan hadir dalam Perundingan Meja Bundar di London. Pada tahun 1933 ia menghadiri Konferensi Islam di Yerusalem, kemudian pergi ke Afghanistan untuk membicarakan pembentukan Universitas Kabul. 


Muhammad Iqbal meninggal pada usia 62 tahun pada tanggal 21 April 1938. Dua tahun setelah kematiannya, terjadilah revolusi Pakistan. Sayangnya, Iqbal tak sempat menyaksikan kelahiran Republik Pakistan yang turut diperjuangkannya.



Kuntowijoyo


Kuntowijoyo lahir di Bantul, Yogyakarta, pada 18 September 1943. Ia tumbuh dalam keluarga seniman. Ayahnya seorang pembaca yang tekun, sementara kakek buyutnya adalah kaligrafer. Sepertinya, tradisi literasi dari lingkungan keluarga turut memberi pengaruh signifikan terhadap perkembangan dirinya dalam mengarungi kehidupan ke depan.


Kuntowijoyo, sejak kecil memanfaatkan waktu luang yang ada untuk membaca karya-karya penulis masyhur Indonesia dan dunia. Begitu pula ketika memasuki Sekolah Menengah Pertama, ia membaca karya Hamka, H.B. Jassin, Pramoedya Ananta Toer, Nugroho Notosusanto. 


Dalam berkarya, Kuntowijoyo hampir selalu menjadikan Islam sebagai fundamen gagasannya. Ia cukup konsisten merujuk ajaran-ajaran Islam, sebagai dasar analisis terhadap peristiwa sejarah maupun masalah sosial yang diamatinya. Menurut Dawam Rahardjo (kawan diskusinya di Lingkar Studi Mantika), apa yang dilakukan Kuntowijoyo itu penting untuk mengimbangi paradigma orientalisme sarjana-sarjana Barat. [10]


Upaya pengembangan Islam — yang dilakukannya— sebagai ilmu juga merupakan antitesis terhadap ilmu pengetahuan yang selama ini lebih berkiblat atau berbasis paradigma Barat. Selain itu, pemikiran Kuntowijoyo juga dipengaruhi dan terinspirasi oleh dua orang tokoh. Di antaranya, Muhammad Iqbal seorang filsuf (yang sudah sedikit dikupas pada daftar sebelumnya) dan Roger Garaudy filsuf Islam asal Prancis, yang mencetuskan filsafat kenabian Islam dalam kajiannya. 


Sebagai akademisi, Kuntowijoyo telah menerbitkan tiga kumpulan esai ilmiah. Umumnya ia menelaah persoalan sosial, budaya, dan tentu saja sejarah. Di antara karyanya itu adalah Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (1985), Budaya dan Masyarakat (1987), dan Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (1991). Kompilasi-kompilasi esainya juga terbit setelah itu. Sebut misalnya Demokrasi dan Budaya Birokrasi (1994), Identitas Politik Umat Islam (1997).


Prinsip utama ilmu sosial profetik yang digagas Kuntowijoyo adalah emansipasi umat. Seperti halnya dalam tradisi keilmuan barat, ilmu sosial tak hanya dipakai untuk memahami gejala-gejala, tetapi juga harus punya kekuatan mengubah keadaan. Menurutnya, Ilmu Sosial Profetik harus mempunyai perhatian utama. Perhatian utama itu ialah emansipasi umat, yang kongkret dan historis, dengan menyangkutkannya dengan problem-problem aktual yang dihadapi umat. Dengan kata lain, menurut Kuntowijoyo, manusia harus terlibat aktif dalam perubahan, bukan hanya mengamati dan memahami gejala-gejala sosial. Hal ini pula berkaitan dengan pentingnya kesadaran (consciousness) individu terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan.  


Sejak tahun 1992, Kuntowijoyo dikabarkan sakit akibat meningoencephalitis.[11] Kondisi itu membuat dirinya tak memungkinkan untuk bekerja ataupun menulis. Namun, nyatanya Kuntowijoyo belum habis. Ia tetap menulis walaupun kecepatannya kini terbatas. Seturut pengakuan sang istri Susilaningsih —dikutip dari liputan khusus tirtoid: Kuntowijoyo: Pelopor Ilmu Sosial Profetik, [12] beliau membiasakan diri menulis hanya dengan satu jari: "Satu hal kelebihan Pak Kunto adalah, walaupun dengan satu jari saja, yaitu jari telunjuk kanan, Pak Kunto mempunyai kesabaran yang luar biasa, ketika idenya itu sudah sangat besar, ia dengan sabar menulis satu persatu huruf".


Keterbatasan tak membuatnya bertekuk lutut hingga kepergiannya pada 22 Februari 2005. Kini, atas peninggalan beberapa karya monumentalnya, publik mengenal Kuntowijoyo setidaknya dalam tiga predikat: sastrawan, sejarawan, dan intelektual muslim.


**


Demikian sedikit ulasan mengenai beberapa ilmuwan dan filosof yang nama-namanya masyhur hingga hari ini. Tentu masih terdapat ribuan ilmuwan dan filosof lain yang tidak tercantum dalam daftar nama di atas — bisa juga dikatakan luput dalam amatan.  Namun, dari ulasan di atas, kiranya terdapat beberapa hal yang layak direnungi—jika tak bisa digarisbawahi: salah satunya bisa menggugahkan kesadaran kita, perihal kegigihan dan ketekunannya dalam belajar. Sehubungan dengan hal ini, beberapa ulasan yang dituturkan ulang oleh para murid ilmuwan/filosof sedikit banyak menggambarkan bagaimana mereka tidak menghabiskan waktunya baik siang maupun malam kecuali untuk belajar. Bahkan, satu hal lain yang juga patut diteladani adalah, apabila menemui kesulitan dalam mempelajari sesuatu, (Ibnu Sina) lantas masuk ke Masjid untuk shalat dan meminta kepada Allah SWT, Sang pemilik Ilmu, agar diberikan pemahaman. Wallahu A’lam bish-Shawab.

*Menlitsuspol BEM Unipi


[1]. Basori, Khabib. 2009. Ilmuwan-Ilmuwan Muslim Pengubah Zaman. Klaten: Penerbit Cempaka Putih, cet.kedua.

- Hadi, Saiful. 2013. 125 Ilmuwan Muslim Pengukir Sejarah. Jakarta: Insan Cemerlang dan Intimedia Cipta Nusantara. Cet. Pertama


- Jurnal Irfan, A.N. "Masuknya Unsur-unsur Pemikiran Spekulatif Dalam Islam: Kajian Atas Logika Dan Metafisika al-Farabi." CMES (Jurnal Studi Timur Tengah. 7.2 2014), 177. 

- Bagir, Haidar, Buku Saku Filsafat, Bandung: Mizan, 2006. 


[3]. Tidak ada perdebatan sengit antar ulama melebihi popularitas perdebatan antara Abu Hamid Al-Ghazali dengan Ibnu Rusyd Al-Andalusy. Perdebatan mereka menyita perhatian dunia Islam, bahkan di luar Islam sampai sekarang. Al-Ghazali ngotot dan menumpahkan kritiknya terhadap filsafat dengan menulis buku Tahāfutul Falāsifah. Buku ini bernada serangan dengan nuansa ejekan. Kritik Al-Ghazali tajam menyerang jantung pertahanan ulama-ulama yang gandrung filsafat.


Selang beberapa waktu kemudian, kritik yang dialamatkan pada kaum filsuf itu dijawab dengan tidak kalah tajam oleh ulama cemerlang dari Spanyol, Ibnu Rusyd Al-Andalusy. Ia menulis buku bantahan dengan judul yang tidak kalah menjengkelkan: Tahāfutut Tahāfut yang berarti kekacauan di atas kekacauan.


Argumentasi yang diajukan oleh Ibnu Rusyd menjawab segala tuduhan akademis yang ditulis oleh Al-Ghazali. Rekaman perdebatan itu abadi hingga saat ini lewat buku-buku polemis. Para pengkaji Islam menjadi mengerti betapa semangat untuk menghidupkan iklim akademik di zaman itu sungguh sangat hidup. 


Selengkapnya, akses tautan berikut: 



[4]. Bagian awal dari Muqaddimah (Prolegomena) telah menarik banyak perhatian hingga era kiwari. Di dalamnya, Ibn Khaldun mendedahkan berdiri dan jatuhnya dinasti-dinasti dengan metode pengujian kredibilitas sumber yang ketat. Lebih lanjut, akses tautan berikut: 



[6]. Sigmund Freud dan Carl Gustav Jung adalah dua nama rujukan bagi penggelut Ilmu Psikologi. Untuk pengantar, bisa akses tautan berikut: https://www.google.com/amp/s/m.kumparan.com/amp/potongan-nostalgia/perselisihan-sigmund-freud-dan-carl-jung-yang-mempengaruhi-teori-psikologi-abad-ke-20-1543914236527991906



[8]. Akhyak, “Rekonstruksi Pendidikan Islam (Kajian Pemikiran Iqbal dan Relevansinya di Indonesia)”, Jurnal Pendidikan Islam Vol. XI No. I, Juni 2008.


[9]. Effendi, Djohan & WM Abdul Hadi, 1986, Iqbal Pemikir Sosial Islam dan Sajak-Sajaknya, Jakarta, Pancasimpati.



[11]. Radang otak dan jaringan sekitarnya, disebabkan oleh infeksi. Meningoencephalitis biasanya disebabkan oleh virus, bakteri, parasit, atau mikroorganisme lainnya. Contohnya termasuk virus West Nile, gondok, atau tuberkulosis.


39 views0 comments

Recent Posts

See All

The Twisted-Ending-Boy

Oleh: Iris (nama samaran) He was sitting in the front when I first saw him. Quiet and seems like he's not interested for socializing....

Musik Sebagai Medium Kritik sosial-politik

Oleh : Yogi Esa Sukma Nugraha Ada sebuah fenomena masif dari musik belakangan yang menjadi kekuatan politik. Hal itu terjadi pada 2014....

Comments


Post: Blog2_Post

08975018018

Subscribe Form

Thanks for submitting!

©2020 by BEM Universitas Persatuan Islam. Proudly created with Wix.com

bottom of page