Oleh : Ahmad Ali Robbani a.k.a Mang Apud (Reseller Baso di Cibeureum)
Presiden Joko Widodo dalam pidatonya di pertemuan Tahunan Jasa Keuangan 2020 (16/01/2020), menyinggung tentang birokrasi yang menghambat kecepatan pertumbuhan ekonomi Negara. Presiden juga membahas sebuah konsep perundang-undangan sebagai solusi dari permasalahan tersebut, yang dinamai Omnibus Law. Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus, oleh para ahli diprediksi akan menyasar beberapa isu besar dan bisa mencabut atau mengubah beberapa undang-undang sekaligus. Setidaknya RUU ini akan mengubah lebih dari 80 UU terkait investasi.
Niat presiden untuk mengatur ulang peraturan-peraturan yang menghambat investasi memang langkah yang baik. Tapi, dengan mengubah dan menghapus beberapa UU vital, akan mengakibatkan kerugian pada beberapa sektor. Di sektor perburuhan dalam RUU Cilaka buruh kemungkinan bisa dikontrak seumur hidup; pengusaha bisa menerapkan jam kerja semaunya; cuti-cuti tertentu yang seharusnya tetap diupah dihapuskan dan masih banyak kerugian yang akan dialami oleh para buruh.
Di sektor pertanian, aturan impor pangan akan dilonggarkan, impor akan menjadi setara dengan produk dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan serta cadangan pangan; alih fungsi lahan dipermudah. Di sektor Lingkungan Hidup, Omnibus Law juga memberikan kelonggaran jika perusahaan merusak Lingkungan Hidup. Tanggung jawab perusahaan sebagai pemegang konsesi hutan jika terjadi kebakaran dihapuskan. Dan yang paling menyakitkan rakyat tidak bisa melakukan gugatan terhadap perusahaan yang merusak lingkungan.
Kaitannya dengan itu, sebelumnya kampanye dalam pidato Presiden Jokowi menjadi mantra jitu untuk meyakinkan rakyat mendukung langkah pemerintah untuk melejitkan pertumbuhan ekonomi. Namun, resikonya jauh lebih buruk dari apa yang diucap. Jikalau berhasil ekonomi tumbuh sesuai target, tidak akan bisa membayar kesedihan rakyat yang habis-habisan bekerja. Pun tidak akan bisa membayar kesedihan anak petani yang sawahnya berubah menjadi pabrik.
Selain itu, ada kejanggalan dari RUU ini, salah satunya adalah dalam setiap pembahasannya tidak melibatkan rakyat sama sekali. Yang menunjukkan hilangnya ruh demokrasi pada pembahasan RUU ini. Seakan-akan Pemerintah dan DPR memaksakan untuk pembahasan, padahal diluar gedung ber AC itu jutaan rakyat menolak adanya RUU Omnibus Law. Patut dipertanyakan jika ini Negara demokrasi, rakyat mana yang mereka dengar?.
Setelah merasa kurangnya dukungan dari rakyat, mereka menyewa influencer (dibaca : Buzzer) untuk meyakinkan rakyat bahwa pemerintah punya maksud baik. Tak tanggung artis sekelas Ardhito Parmono, Gofar Hilman, Gading Marten, sampai Inul Daratista kompak menyuarakan dukungannya pada RUU Cipta Kerja dan naikkan tagar #IndonesiaButuhKerja. Setelah menuai kritik dari netizen, seleb-seleb itu meminta maaf di akun medsosnya dan mengaku bahwa mereka diberi proyek yang mereka sendiri tidak tahu-menahu.
Sebelum RUU “jahat” ini disahkan, kita selaku rakyat harus berjuang untuk menjegalnya. Sebelum semakin banyak saudara kita yang tergusur rumahnya, terampas haknya; sebelum sawah disulap jadi bandara, hutan jadi kebun sawit. Lawan buzzer-buzzer yang mendukung omnibus law sekalipun itu artis idola. Hanya dengan perlawanan manajemen yang rasional akan tercipta. Memang pemerintah punya maksud baik, tapi saya kira maksud baik mereka bukan untuk kita.
Comments