Oleh: Farhan Muhammad Irham*
Ramadan merupakan bulan yang penuh kemuliaan. Di bulan Ramadan al-Qur’an diturunkan, pahala dilipatgandakan, ada malam yang lebih baik daripada seribu bulan, dan setan dibelenggu. Tidak ada alasan bagi kita untuk berleha-leha dalam beribadah, disamping karena banyaknya ganjaran yang kita dapatkan dan juga pada tahun ini kita diberi cukup banyak waktu luang untuk mendekatkan diri pada Sang Khaliq karena adanya wabah covid-19 yang mengharuskan kita untuk di rumah aja.
Seperti yang kita tahu, Ramadan pada tahun ini cukup berbeda. Ya, karena adanya wabah covid-19 ini kita jadi ‘dibelenggu’ lebih dulu daripada setan dengan #DiRumahAja, kita tidak bisa melaksanakan salat tarawih berjamaah seperti biasa, tidak ada bukber sekaligus reuni dengan teman, tidak ada itikaf, dan masih banyak hal yang berbeda pada Ramadan tahun ini. Akan tetapi, hal itu bukanlah alasan bagi kita untuk berleha-leha dalam beraktifitas ataupun beribadah. Kita masih bisa beraktifitas daring dengan yang lain. Dalam hal ibadah kita masih bisa melaksanakan salat tarawih, tadarrus, dan buka shaum bersama keluarga di rumah. Dan hikmah dari terjadinya wabah covid-19 di bulan Ramadan tahun ini, bisa dijadikan sebagai motivasi bagi kita untuk melaksanakan amal baik seperti berdonasi.
Donasi pada tahun ini ‘tidak biasa’ daripada Ramadan sebelumnya, kita tidak hanya membagikan sembako kepada masyarakat yang membutuhkan, tetapi ada pula masker dan hand sanitizer di dalamnya. Donasinya memang berbeda, tetapi ganjaran di bulan Ramadan tiap tahunnya selalu sama, bahkan mungkin di tahun ini bisa lebih besar mengingat banyaknya orang lain yang membutuhkan bantuan dari kita. Karena sikap gotong royong dan peduli pada mereka yang membutuhkan bantuan, dan memperkuat tali ikatan masyarakat, adalah salah satu ajaran Islam.
Bulan ke-delapan di tahun hijriyyah ini adalah bulan momentum bagi kita untuk memupuk amal yang kelak akan kita panen di hari perhitungan. Kita harus memanfaatkannya sebaik mungkin, dengan mengharap rida dan rahmat-Nya. Dan perlu kita ingat, Ramadan bukanlah bulan untuk bersandiwara. Akan tetapi Ramadan adalah bulan agar kita bertakwa kepada Allah Swt. seperti dalam firman-Nya;
يأَيُّهَا الَّذِينَءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu untuk shaum sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (Al-Baqarah: 183)
Dan juga Ramadan adalah bulan ‘latihan’ agar kita lebih baik di bulan-bulan lain. Bukan berarti kita menahan hawa nafsu karena bulan ini adalah Ramadan, tetapi walaupun Ramadan berakhir kita akan menahan hawa nafsu kita. Bukan berarti karena ini adalah Ramadan kita berhenti untuk bermaksiat, tetapi walaupun Ramadan berakhir kita akan selalu mecoba untuk berhenti bermaksiat. Di bulan ini kita berlatih untuk menahan hawa nafsu, tidak bermaksiat, melakukan amal saleh, dan juga berlatih untuk mendekatkan diri pada Allah Swt, agar kelak di bulan lain kita sudah terbiasa dengan hal-hal tersebut.
Terkadang kita terlena akan hal tersebut. Kita menjadikan Ramadan sebagai bulan momentum, tetapi bukan momentum untuk meraih takwa ataupun mengharap rida dan rahmat Allah, hanya untuk mengejar program kerja dan ‘gugur kewajiban’ yang kita rencanakan di bulan Ramadan. Ada program khatam al-Qur’an selama Ramadan, tetapi ketika Ramadan usai bacaan itu tidak berlanjut. Program seperti semarak Ramadan yang berisikan hal-hal islami, Ramadan berbagi, acara televisi –walaupun gosip tapi berbusana islami–, dan program-program lainnya yang mencantumkan ‘spesial Ramadan’ lainnya, bahkan tulisan yang sedang penulis tulis hari ini akan terasa nihil jika memang hanya dilaksanakan untuk ‘gugur kewajiban’ belaka. Jika Ramadan berkahir dan ibadah kita menjadi luntur, donasi kepada masyarakat tidak berlanjut, membaca al-Qur’an menjadi ‘belang-betong’, maka pada akhirnya kita hanya bersandiwara, naudzubillahi min dzalik. Dan jika kita merasakan bahwa diri kita sedang bersandiwara di bulan ini, bukan berarti kita harus berhenti melaksanakan kebaikan. Kita hanya harus membelokkan stir kebaikan kita kepada tempat yang seharusnya bermuara, yaitu rida Allah Swt.
Mari kita bermuhasabah atas apa yang kita lakukan, apakah sudah bermuara kepada Allah Swt, atau hanya gugur kewajiban belaka? Tangisilah diri kita yang dalam beribadah masih mengejar citra manusia, mengejar rating, dan ‘gugur kewajiban’. Jika kita tidak bisa menangis akan hal itu, bersandiwaralah menangis, sampai kita benar-benar menangis, menangisi sandiwara tersebut dan berjani untuk tidak bersandiwara di hadapan Allah Swt. Wallahu A’lam Bish Shawwab
*Menlitsuspol BEM UniversitasPersatuan Islam
Commenti