top of page
Search

Menulislah, Kawan...

Writer's picture: Bem UnipiBem Unipi

Oleh : Yogi Esa Sukma Nugraha*


Menulislah, kawan. Jika tidak yakin hal itu bisa mempengaruhi banyak orang dan memberikan sesuatu yang menggerakkan roda sejarah pada waktu setelahnya, paling tidak, menulislah atas nama pengarsipan. 


*


Tokoh proklamator kita, Bung Hatta, saat ditahan penguasa kolonial Belanda dalam waktu yang relatif lama di penjara Boven Digul Papua, menulis sebuah buku yang fenomenal dengan judul "Mendayung Antara Dua Karang". Sebuah karya yang kemudian menjadi "dasar" untuk pelaksanaan politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif.


Sementara itu, Bung Karno, yang ketika itu ditahan di penjara Sukamiskin Bandung — yang juga dalam waktu relatif lama, pun menulis sebuah buku yang fenomenal dengan judul "Di Bawah Bendera Revolusi". Buku yang kemudian menginspirasi pergerakan pemuda Indonesia dengan nilai-nilai luhur perjuangan — terlepas dari tindak-tanduk keturunannya yang belakangan membuat kebijakan yang menimbulkan kecaman dari berbagai elemen sipil di Indonesia.  


Saat ditanya apa motivasi kedua "Founding Fathers" itu dalam membuat karya tulis yang kemudian menjadi "legacy"(warisan) bersejarah tersebut? Keduanya menjawab dengan lantang bahwa "bangsa Indonesia ke depan harus menjadi lebih baik!".


Paparan dua fakta empiris di atas bisa dijadikan motivasi awal kawan-kawan sebagai mahasiswa, bahwa menulis merupakan aktualisasi diri yang bisa membawa masa depan lebih baik. Jika memang berkenan demikian.


Dan untuk merealisasikan hal itu, kawan-kawan bisa memulainya dari sekarang. Setidaknya, menulislah, daripada menggunakan sebagian besar waktunya untuk hal-hal yang kurang bermakna, seperti ghibah misalnya. Sebab, website yang sepenuhnya dikelola Menkominfo bemunipi ini, sejak awal memang diperuntukkan untuk menampung tulisan kawan-kawan, sebagai sarana untuk mengasah keterampilan kepenulisan


Pada dasarnya, aktivitas menulis adalah bagian dari budaya yang sudah ada sejak zaman prasejarah. Namun, tentu saja sebagai generasi muda saat ini, selayaknya kita tidak hanya melanjutkan tradisi, akan tetapi harus bisa meningkatkan dan mengembangkan tradisi kepenulisan negeri ini, dan menjadi bagian untuk berkontribusi dalam upaya penguatan literasi.


Di masa silam, menulis adalah representasi bahasa pada media tekstual dengan menggunakan beberapa tanda atau simbol. Pada masa milenium ke-4 sebelum masehi, kompleksitas perdagangan dan perkembangan administrasi membutuhkan kapasitas memori yang lumayan banyak, dan sejak itu tulisan pada akhirnya menjadi salah satu metode perekaman terpercaya yang permanen. Dengan kata lain, kala itu tradisi lisan lebih mendominasi daripada tulisan. 


Lambat laun, tradisi menulis sangat membantu memperlancar hubungan dan interaksi sosial antar-individu dan kelompok masyarakat, sehingga dapat memperlancar hubungan kerjasama dalam menyelesaikan segala persoalan, termasuk lebih jauhnya, bahkan menyelesaikan sengketa antar-bangsa.


Melalui tulisan pula kita bisa memberikan sumbangan kepada perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, dan sebagainya, demi peningkatan kualitas hidup manusia. Di sisi lain, menulis juga bisa bernilai Ibadah. Dalam Al-Qur'an, secara kontekstual dapat dipahami bahwa menulis merupakan "kewajiban" dengan adanya perintah kewajiban membaca. Untuk itu, tulisan, bagaimanapun, demikian berguna bagi kehidupan masyarakat secara luas.


Dengan demikian, kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa tradisi menulis ini haruslah dirawat sepenuh hati. Akan tetapi, dalam konteks unipi saat ini, aktivitas tulis-menulis baiknya tidak hanya menjadi tuntutan wajib mahasiswa jurusan sejarah. Alangkah membanggakan apabila prodi lain semisal bahasa inggris, lingkungan, peternakan, pariwisata, bisnis digital, bisa bahu-membahu menganalisa dan menuliskan berbagai persoalan dalam perspektif sesuai spesialisasi keilmuannya untuk dikaji bersama, dengan begitu memungkinkan tercapainya apa yang konon diperlukan di masa depan: adanya integrasi lintas disiplin keilmuan. Baik itu pengetahuan akademis maupun pengetahuan-pengetahuan praktis. Barangkali seperti itulah gambaran mengenai kajian berkerangka komparatif dan interdisipliner seperti yang dilakukan Benedict Anderson (Indonesianis asal Cornell University), yang boleh dibayangkan sebagai cara ideal untuk memulai riset yang menarik sebagaimana dituliskan dalam buku (auto)biografinya yang terbit sebelum dan sesudah kepergiannya.


Ada pun bagi kawan-kawan yang beririsan dengan dunia aktivisme sosial-politik semisal pengorganisiran dan propaganda, keterampilan menulis tentu saja diperlukan, untuk menopang kebutuhan pragmatis di lapangan. Beberapa kawan saya menyebutnya agak sedikit keren: "kebutuhan praksis". Tulisan itu berupa kronologi aksi dan peristiwa, pernyataan sikap, reportase, dan evaluasi protes, pamflet demonstrasi, pengantar undangan diskusi dan hal-hal lain sebagainya. 


Selain itu, jenis tulisan lain yang tak ada irisannya dengan keilmuan secara eksplisit bisa saja ditayangkan. Dalam hal ini, misalnya kawan-kawan menuliskan catatan personal retrospektif, jika dirasa akan bermanfaat bagi banyak orang. 


Anggap sajalah menulis di website ini sebagai optimalisasi pembelajaran diluar jadwal formal. Tak perlu harus menjadi penulis yang berkeringat dan berdarah-darah yang menemukan dan memungut setiap kata dari pengalaman mereka dalam membaca, atau seperti para penulis fiksi dan non-fiksi yang dengan lirih menyebutkan satu demi satu dan sekaligus mengisahkan bagaimana pertemuan mereka dengan bacaan.


Kita bisa saja memaknainya sebagai aktivitas rekreasi, atau pelarian setelah sementara merasa cukup untuk meluangkan porsi waktu yang lebih banyak bersinggungan dengan perkuliahan atau pekerjaan mencari nafkah, plus semua hiruk pikuknya. 


Tidak perlu menguasai seluruh aspek detail teknik penulisan, seperti yang dikuasai oleh Gabriel Garcia Marquez, yang bisa menghasilkan tulisan seperti orang bertamasya: menikmati kalimat-kalimat, menikmati cara menyampaikan gagasan, menikmati irama yang lahir dari susunan kata-kata.


Tidak perlu juga terobsesi menjadi seperti Pramoedya Ananta Toer yang berkata: "Orang boleh pandai setinggi langit. Tapi, selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian." Meski dalam banyak hal, beberapa tulisan (terutama cerpen-cerpen) beliau cukup menginterupsi dan membantu saya sejauh mana aktivitas menulis bisa berguna, dan tentu saya haqqul yakin, bahwa untuk mencapai hal tersebut diperlukan riset yang terukur dan jam terbang menulis yang matang.  


Namun, cukup dengan pernyataan, bahwa tanpa adanya tulisan, manusia akan selalu berada dalam kegelapan. Oleh karena itu, mahasiswa harus sadar betul betapa pentingnya tradisi kepenulisan. 


Meski harus pula disadari bahwa setiap orang punya motif sendiri dalam menulis. Dan tidak ada yang keliru dengan apa pun motif orang belajar menulis. Seorang kawan pernah mengingatkan ketika kita bersama-sama belajar, kalimat yang selalu diingat: 


"Orang lain membutuhkanmu. Mereka butuh sumbangan pemikiranmu, cerita-cerita, dukunganmu pada isu-isu tertentu, atau sekadar ingin tau bagaimana kamu memaknai hal kecil sehari-hari. Kamu bisa memenuhi keinginan mereka ketika kamu mampu menuliskan dengan baik pemikiran, cerita, atau posisimu dalam satu isu. Tulisan yang baik mampu mewakili apa yang mereka ingin suarakan tetapi tidak tau caranya, atau mungkin saja hanya belum cakap melakukannya."


Sekarang, saya ingin mengulangi kalimat itu untuk kalian semua. Setidaknya, hanya ingin mengulanginya untuk menyerukan pada kawan-kawan agar mulai menuliskan apa-apa yang layak disuarakan. Sebab — sepakat dengan AS Laksana, saya meyakini bahwa menulis adalah media komunikasi terbaik. Kita punya waktu untuk memilih kata yang akan kita gunakan; kita bisa menimbang pesan apa yang layak disampaikan. Dan, lebih dari itu, kita punya waktu untuk merenungkan dan mengoreksi pikiran sebelum melemparkan ke orang. Sebuah keistimewaan yang tidak akan kita temui dalam ceramah lisan, atau percakapan spontan.


Untuk itu, sekali lagi: menulislah, kawan! 


Kita hanya perlu sedikit ketekunan untuk menyelidiki bagaimana para pemikir dan ahli tulis (semisal beberapa nama besar yang saya sebut di atas) melatih diri, mengasah kecakapan membuat kalimat, memilih kata, membuat perumpamaan, dan sebagainya. Dengan upaya itulah, akumulasi pengetahuan dan informasi bertambah, selain dapat memperkaya kosa kata dan bisa mempelajari berbagai tekniknya. 


Sehubungan dengan itu, ada satu hal yang layak direnungi—jika tak bisa digarisbawahi: kita tak bisa mengharapkan mutu yang bagus jika tak peduli dengan penguatan isi kepala dan menjauhi kultur diskusi. Seandainya diberi kesempatan untuk menjawab pertanyaan perihal bagaimana mengatasi persoalan demikian, jawaban pertama yang akan saya sodorkan: perluas cakrawala dengan membaca. Jawaban lebih panjang: kita bisa lakukan bersama apa yang telah saya tulis di paragraf sebelumnya.


Selain itu, di tengah realitas yang mendesak kita agar bertahan bersama-sama dalam melewati gempuran pandemi, resesi ekonomi, krisis energi, seperti yang terjadi saat ini: mengoptimalkan website sebagai sarana berbagi informasi dan mengkaji beragam keilmuan yang telah mewujud dalam tulisan di setiap pekan, memang menjadi pilihan yang paling masuk akal. Kebersamaan dalam mengupayakan hal semacam itu bisa menjadikan harta paling berharga yang bisa kita miliki. Dan itu satu-satunya yang tidak bisa dirampas dari kita oleh individu atau kelompok mana pun.


Kita bisa kehilangan uang, kehilangan jabatan, kehilangan tanah, kehilangan rumah, kehilangan teman, kehilangan saudara, tetapi kita tidak mungkin kehilangan pengetahuan, kecuali suatu hari anda kesurupan dan berubah menjadi kurang waras, misalnya. Tetapi itu kasus langka. Secara umum, pengetahuan yang kita miliki akan abadi dan tetap menjadi milik kita selama kita diberi kesempatan hidup dan sehat oleh Yang Maha Kuasa. Dan tentunya layak dibagi untuk kebermanfaatan bersama. 


Wallahu a'lambishawab




*Menlitsuspol BEM Unipi


49 views0 comments

Recent Posts

See All

The Twisted-Ending-Boy

Oleh: Iris (nama samaran) He was sitting in the front when I first saw him. Quiet and seems like he's not interested for socializing....

Musik Sebagai Medium Kritik sosial-politik

Oleh : Yogi Esa Sukma Nugraha Ada sebuah fenomena masif dari musik belakangan yang menjadi kekuatan politik. Hal itu terjadi pada 2014....

Коментари


Post: Blog2_Post

08975018018

Subscribe Form

Thanks for submitting!

©2020 by BEM Universitas Persatuan Islam. Proudly created with Wix.com

bottom of page