Oleh : Yogi Esa Sukma Nugraha*
Saya teringat seorang kawan lama yang pernah berkata, bahwasanya modal para tokoh republik dalam memperjuangkan bangsa ini adalah asmara.
"Loh, kok bisa?!"
Awalnya heran. Namun, setelah beliau memberi penjelasan atas pertanyaan: "Mengapa asmara?". Barulah saya sedikit bisa menerima pendapatnya. Apalagi setelah dipaparkan secara detil mengenai pergulatan hidup beberapa tokoh seperti Bung Hatta dan Tan Malaka yang memiliki kisah asmara — yang mempengaruhi perjalanan hidupnya. Bahkan, kisah asmara yang terukir pada nama pertama sungguh elegan: dengan memberikan buku karangannya sebagai mas kawinnya. Untuk kasus kedua, saya tidak terlalu menanggapinya karena awalnya saya mengira dia hanya bercanda. Tapi setelah ditelusuri lebih dalam, ternyata ada benarnya. Namun kisahnya terlampau getir untuk diwartakan; pujaan hatinya ditikung seorang feodal Nusantara. Oh, betapa kejamnya..
Berbicara tentang asmara, Pramoedya Ananta — sastrawan yang masyhur itu, pernah berkata: "asmara selamanya merupakan tenaga perkasa yang pernah dipergunakan manusia dalam hidupnya." Sebagai suatu "tenaga perkasa", tentu dapat dibayangkan seperti apa dampak bagi orang yang memilikinya. Terlebih bagi kita yang sekarang sedang menghadapi badai corona.
Saat ini, beberapa intelektual sudah membuat analisis tentang bagaimana wajah dunia setelah pandemi Corona. Dimulai sejarawan Amerika — pak Yuval Noah Hariri, Slavoj Žižek, sampai filsuf muda Indonesia, Martin Suryajaya. Ada yang berpendapat dunia akan lebih buruk setelah Corona, pun sebagian lagi berpendapat sebaliknya.
Setelah menimbang dan memperhatikan sekitar, saya sendiri lebih memilih untuk mengikuti argumen yang kedua, seorang ahli yang meyakini dunia akan baik-baik saja. Salah satu yang meyakini saya mengikuti argumennya karena sebagai makhluk yang bisa merefleksikan diri, umat manusia pasti akan merefleksikan saat paling berat di dalam hidup ini.
Sekilas terlampau naif, memang. Meski sadar, dalam cakupan luas nyaris selalu ada pihak yang berusaha mengambil keuntungan sepihak dalam republik kita. Namun, optimistis seperti yang dimaksud muncul pada yang lahir dalam lingkungan kelas menengah ke bawah, dan tumbuh dalam ruang-ruang kota yang padat oleh kelas proletar; dengan kata lain, nyaris sulit ditemui pada siapa-siapa yang berjarak dari kenyataan sehari-hari dalam masyarakat, khususnya wilayah kampung kota. Terbukti saat krisis pandemi ini mulai melanda, dengan intensnya mereka bahu-membahu memaknai dan merayakan kembali relasi dengan sesamanya, meski sebagian hanya di dunia maya.
Namun, yang menjadi titik persoalannya, dunia yang sedang mengalami jeda dalam perbaikan secara ekologis ini bukan diupayakan secara sukarela oleh manusia, melainkan karena “dipaksa” oleh kenyataan lewat virus corona.
Dan poin itulah yang layak menjadi perhatian kita.
Saat pandemi terang-terangan meluluhlantakkan dunia —menghentak isinya, segendang-sepenarian. Bukan Indonesia saja yang terdampak. Cina dan Amerika Serikat, bahkan Eropa, juga berjibaku, babak belur kesehatan dan ekonominya.
Kekacauan itu tentu saja bakal mengubah anggaran yang akan digunakan dalam APBN. Harga minyak dunia akan berimbas pada penerimaan pajak migas. Nilai tukar yang semrawut, pertumbuhan ekonomi yang luluh lantak, dan lain-lain sudah pasti akan memengaruhi APBN. APBN yang seharusnya menjadi stimulus fiskal akan sempoyongan karena rencana-rencana yang tertuang dalam penerimaan yang sebagian besar dari pajak yang berasal dari kegiatan perekonomian terdampak luar biasa.
Dan jika refleksi personal tidak bergerak ke refleksi komunal, lalu mengubah paradigma, dan dari sana ada pergeseran kekuasaan dan kapital, maka yang besar kemungkinan terjadi justru kerusakan ekologis akan makin parah. Bahkan sangat mungkin pertikaian antar-negara dan antar-kapital bakal terjadi lebih keras lagi, dan yang akan menjadi korban di garda terdepan pastilah manusia lapis bawah (baca: kaum pekerja) dan lingkungan.
Bagaimana menyikapinya?
Dalam buku Jejak Langkah-nya, Pram mengatakan "bahwa kasih sayang tradisional yang tidak diarahkan pada masa datang yang lebih pelik dan beragam adalah juga kekeliruan yang harus dibetulkan", selanjutnya Pram juga menegaskan "untuk membetulkan kasih sayang pun dibutuhkan pergulatan, keberapian, dan ketepatan tindak".
Lebih lanjut, mengenai tenaga perkasa atau yang secara mudah dipahami dengan istilah kekuatan, Theodore Brameld dalam bukunya "Education as Power" mengungkapkan bahwa setiap kekuatan bisa diibaratkan sebagai 2 sisi mata uang, didalamnya pasti terdapat sisi positif maupun sisi negatif.
Begitupun dengan kekuatan yang dimiliki kita hari ini, seakan menegaskan bahwa tengah terjadi transisi terhadap kebiasaan maupun sudut pandang terhadap kehidupan yang biasa kita jalani.
Maka dari itu, untuk dunia yang lebih baik setelah Corona, dan demi menghindari kekeliruan dalam menyikapi cobaan yang tengah menimpa kita: mari maksimalkan potensi kekuatan asmara, dengan mengupayakan solidaritas sesama warga — dan mendesak otoritas yang bersangkutan agar lebih menjaga kelestarian lingkungan hidup warganya. Sebab, pandemi ini telah memberi arti bahwa setiap dari kita sebenarnya saling terhubung, terikat, membutuhkan. Dan pada akhirnya, yang kita miliki adalah satu sama lain.
***
postscript: anggap sajalah ini sebuah pledoi sekaligus seruan bagi kaum bucin (yang tertekan dengan konotasi negatif terhadapnya) agar bersiap mengalihkan energinya untuk melakukan perubahan sebagaimana yang telah dipelopori kaum rebahan (yang awalnya juga bernada negatif, namun fakta hari ini menjadi bukti bahwa ternyata mereka mampu memberikan segenap jiwa dan raganya pada negara);
Kaoem boecin se-doenia, bersatoelah!
*Menlitsuspol BEM unipi
Comments