top of page
Search

Mapel Sejarah Gak Lebih Penting dari Odading.

Writer's picture: Bem UnipiBem Unipi

Oleh : Yogi Esa Sukma Nugraha*

Di Tengah berbagai kabar seputar hiruk-pikuk sosial-politik Indonesia saat pandemik, kita kembali mendapat berita yang mengejutkan: beredar draf bertanda Kemendikbud tertanggal 25 Agustus 2020 dengan judul “Sosialisasi Penyederhanaan Kurikukulum dan Asesmen Nasional”. Pada salah satu bagian draf itu menjelaskan tentang ketidakwajiban pelajar di tingkat SMA/sederajat untuk mengambil mata pelajaran Sejarah.


Beredarnya draf ini, disertai pemberitaan yang ramai oleh beberapa media massa, memantik percakapan di dunia maya dan protes dari Asosiasi Guru Sejarah Indonesia. Banyak orang yang tidak setuju dengan dihapusnya mata pelajaran tersebut. Keberatan orang-orang ini sebenarnya agak mengejutkan di tengah besarnya ketidakpedulian para elite dan sebagian masyarakat terhadap sejarah bangsa mereka sendiri. Namun, di sisi lain, ini juga menggambarkan betapa masih banyak orang Indonesia yang menaruh harapan dan perhatian kepada sejarah.


Meski belakangan hal ini dibantah oleh pak Menteri yang memastikan tak ada rencana untuk menghapus mata pelajaran (mapel) sejarah dalam kurikulum baru yang sedang disiapkan kementriannya. Lebih lanjut, beliau hanya ingin menjadikan mata pelajaran sejarah menjadi suatu hal yang relevan untuk generasi muda dengan menggunakan media yang menarik.


Di saat yang kurang lebih bersamaan, beredar pula berita Kuliner khas Bandung, odading dan cakue Mang Sholeh (Oleh) yang ramai pula diperbincangkan masyarakat.


Dalam video dengan gaya nyeleneh yang viral di media sosial, disebutkan memakan odading membuat orang-orang merasa sebagai 'Iron Man'. Berbagai tanggapan atas aksinya bermunculan. Antrian pembelinya mendadak banyak. Hingga mendapat tanggapan positif dari pimpinan Jawa Barat.


Kedua peristiwa itu membuat saya merenung sejenak, tiba-tiba saja terlintas dalam benak: yang bisa merasakan sensasi menjadi iron man (dalam tanda petik) selain konsumen odading itu adalah guru sejarah. 


Apa pasal?

 

Merekalah yang paling langsung merasakan kesulitan pada tataran akar rumput. Mereka juga pihak yang paling merasakan urgensi memahami pelajaran sejarah sebab bersentuhan langsung dengan generasi penerus, yakni peserta didik.


Selain berupaya menghemat pemasukan yang — rasanya rudet banget, tapi — harus diterima para honorer di masa sulit seperti sekarang ini.


Untuk lebih lanjut, silahkan tanya teman saya, Rizal Firdaus. 


Selain itu, guru sejarah yang mengajar di sekolah-sekolah di daerah harus memiliki metode khusus agar materi sejarah dapat tersampaikan dengan baik kepada peserta didik. Tujuannya tak lain dan tak bukan untuk menguatkan pola pengajaran guru sejarah yang inovatif, menarik, kekinian, dan mampu menitipkan daya nalar kritis peserta didik. Suatu hal yang diafirmasi pesan A.L. Rowse, bahwa tugas guru sejarah bukan sekadar mengajar, tapi harus ajeg menjadi teladan dengan berwawasan luas agar bisa mengantarkan siswa ke dalam zaman yang beragam dan berbeda.


Artinya, tatkala mengajar, para guru ini sebenarnya sedang menjadi guide para siswa, untuk mengarungi ke dalam tiga zaman; koreksi masa lalu, relevansi masa sekarang dan planing bagi masa depan.


Di sisi lain, ketika masih jadi mahasiswa, ilmu sejarah mewajibkan peserta didiknya membaca ratusan bahkan ribuan halaman buku yang harus dipelajari. Selain itu, juga harus berupaya mengakses dokumen ilmiah yang dapat dijadikan sebagai referensi untuk menganalisa berbagai persoalan sosial: analisa kejayaan serta runtuhnya peradaban, implikasi dari debat idealisme versus materialisme, analisa terhadap kelahiran revolusi industri, pengaruh kapitalisme dalam berbagai bidang kehidupan mulai dari pertanian hingga kesenian, panduan dan taktik politik, dan segudang persoalan yang lain. Lalu, dalam konteks perekonomian, juga diwajibkan mempelajari gejala ancaman resesi selain akibat pandemi, misalnya mempelajari krisis moneter di 1960-an, 1997, dan 2008. Itu semua belum termasuk kajian mendalam dari perspektif ilmu sosial lainnya, semisal antropologi, sosiologi, dan psikologi. 


Pusing, kan? 


Tentu saja. Merekalah Iron Man sebenarnya. Terlebih kita dibesarkan di lingkungan yang beranggapan kuliah itu hanya untuk meningkatkan ekonomi. Segala sesuatu dibuat jadi hitung-hitungan untung-rugi. Turunannya, mendasari asumsi bahwa ilmu sejarah adalah jurusan rendahan, serendah-rendahnya malah. Sebab, apabila bertolak dari asumsi tersebut, ilmu sejarah memang agak sulit berkompromi untuk memenuhi kebutuhan industri. Tapi ya sudahlah, apa mau dikata. 


Sebagai penutup, izinkan saya mengutip Sjahrir yang menuliskan sebuah renungan tentang pentingnya sejarah dalam keberhasilan misi diplomatiknya ke PBB pada Agustus 1947:


"Hanja orang jang telah sanggoep menindjaoe ke belakang dengan hitoengan abad, dengan lain kata, jang memang berpengertian tentang sedjarah dan masjarakat, akan dapat berhadapan dengan soeasana sedjarah jang beroepa revoloesi dengan pengertian serta kepastian tentang arah dan toedjoean sedjarah."


Luar biasa, kan. Bung Kecil saja begitu paham kegunaan sejarah dalam upaya pendirian republik ini.  


Dan dalam konteks hari ini, andai saja semua orang di republik ini tekun mempelajari sejarahnya sendiri, mungkin ada banyak berbagai kesalahan yang bisa dihindari.


Namun, kembali, bagaimana kita memposisikan ilmu sejarah. Apalagi di tengah wacana pengurangan kewajiban pelajar di tingkat SMA/sederajat dalam mempelajari sejarah. Apabila wacana tersebut direalisasikan, sangat mudah untuk berasumsi bahwa pemerintah saat ini mengganggap sejarah sebagai ilmu yang tidak lebih penting dari odading.




*Menlitsuspol BEM unipi


52 views0 comments

Recent Posts

See All

The Twisted-Ending-Boy

Oleh: Iris (nama samaran) He was sitting in the front when I first saw him. Quiet and seems like he's not interested for socializing....

Musik Sebagai Medium Kritik sosial-politik

Oleh : Yogi Esa Sukma Nugraha Ada sebuah fenomena masif dari musik belakangan yang menjadi kekuatan politik. Hal itu terjadi pada 2014....

Opmerkingen


Post: Blog2_Post

08975018018

Subscribe Form

Thanks for submitting!

©2020 by BEM Universitas Persatuan Islam. Proudly created with Wix.com

bottom of page