top of page
Search

Lima Rekomendasi Buku Fiksi yang Layak dibaca di Waktu Luang

Writer's picture: Bem UnipiBem Unipi

Oleh : Yogi Esa Sukma Nugraha*


Para ahli berpendapat bahwa aktivitas membaca bukanlah sekadar mengeja kalimat-kalimat dalam buku. Lebih dari itu, membaca adalah memahami makna literal maupun kontekstual dari kalimat-kalimat yang dibaca. Membaca adalah menghubungkan satu paragraf ke paragraf lain (atau dalam level yang lebih tinggi: satu buku ke buku lain), untuk kemudian bisa ditarik kesimpulan dari apa yang sudah dibaca, sembari membandingkannya.


Adapun turunannya, dengan memiliki minat baca yang besar dan jumlah bacaan yang memuaskan, lambat laun akan mendorong seseorang untuk terbiasa berdiskusi. Eksesnya tak lain dan tak bukan adalah mendapat temuan (dan pemahaman) baru yang tak hanya bersumber dari satu pintu. Sebab, bagaimanapun, pemikir yang hebat selalu berawal dari pembaca yang lahap.


Akan tetapi, sebelum melanjutkan uraian ini, saya akan nyatakan dulu satu hal: tidak sedikitpun berpretensi atau memiliki kehendak menggurui. Hanya sekadar berbagi informasi. Sudah barang tentu, subjektivitas pribadi sangat kental di sini. Oleh karena menyadari bahwa tiap individu mempunyai tendensi yang tidak seragam dalam menikmati literatur fiksi. Suatu hal yang afirmasi kredo lawas: "soal selera bacaan tak perlu dipertentangkan". Namun, saya pikir, berbagi bacaan di sini punya arti penting, sebab, garasi pengetahuan dan bacaan seseorang akan mandeg ketika ia berhenti pada karya penulis yang itu-itu saja tanpa menemukan referensi yang lain. Tentu dengan harapan teman-teman (wabilkhusus warga Unipi yang saya hormati) melanjutkan upaya membuat daftar rekomendasi fiksi ini dengan perspektif berbeda, sesuai minatnya.


Selain itu, uraian ini terinspirasi dari beberapa kontributor theconversation.com yang sudah lebih dulu menuliskan hal serupa, dengan beberapa literatur pilihannya. Dan tentunya, saya akan membagikan perspektif yang berbeda.


Dengan ingatan seadanya — dan dibantu beberapa literatur yang memang sudah dimiliki sebelumnya, saya mencoba berbagi informasi perihal literatur fiksi yang kiranya layak dibaca sebelum teman-teman sibuk bergelut dengan hal-hal yang berkaitan dengan upaya bertahan hidup di dunia, atau dengan lain kata, masih memiliki waktu senggang.


Pun saya menyadari bahwa uraian ini sama sekali tidak komprehensif. Karena tidak menyebut beberapa literatur yang biasanya kerap dijumpai di kurikulum sekolah, seperti buku-buku angkatan Balai Pustaka maupun yang terbit beberapa dekade sesudahnya.


Untuk itu, uraian ini akhirnya harus diterima dengan penuh skeptis, dan curiga. Karena pandangan dan pembacaan saya, tentu saja, terhalau bias selera, lingkar pertemanan, serta ketidakmampuan melacak literatur fiksi terbaik yang pernah ada.


Merasa Pintar, Bodoh Saja tak Punya


Serial Cak Dlahom mulanya saya temui di situs mojok.co selama ramadhan 2015 dan 2016. Konon, telah dibaca lebih dari enam ratus ribu kali, namun kini hadir lewat buku untuk mengajak kita merenungkan kesombongan manusia yang acap merasa lebih pintar.


Buku ini menceritakan tentang kehidupan di suatu kampung bersama dengan penduduknya yang memiliki karakter yang beraneka ragam. Ada Mat Piti yang suka membantu tetangganya, Ada juga Cak Dlahom yang dianggap kurang waras sama orang dikampungnya, Ada juga Romlah putrinya Mat Piti yang menjadi kembang di desanya, Ada juga Pak Lurah dan lainnya. Buku ini juga bermakna keangkuhan tiap-tiap dari kita yang harus bisa saling menjaga. Dengan lain kata, keangkuhanku dan keangkuhanmu sebagai insan manusia, sebaiknya lebih dulu dihadapkan pada dirinya sendiri agar sesama kita tidak saling menghabisi. Selainnya, tentu akan lebih baik apabila informasi terkait buku ini dicari sendiri saja selengkapnya, seutuhnya: segera kunjungi toko buku kesayangan anda.


Bukan Pasar Malam - Pram


Novel ini bercerita tentang seorang pemuda tentara revolusi yang baru saja keluar dari penjara di Jakarta, lalu dihadapkan pada kenyataan pahit, yakni ayah yang sedang sakit keras. Dalam sebuah surat yang dikirim oleh pamannya berisikan bahwa ia diminta untuk pulang ke Blora untuk menengok ayah yang sakit. Dalam keadaan yang serba kekurangan karena baru keluar dari penjara, tokoh aku mencoba mencari pinjaman uang dari teman-teman untuk biaya pulang ke Blora. Ketika uang sudah di tangan, ia tak mau membuang waktu. Dengan cepat ia memboyong istrinya untuk pergi ke Blora. Di dalam kereta, ia hanya duduk diam termangu melihat satu per satu daerah yang dilalui. Daerah-daerah yang punya kenangan tersendiri.


Sesampainya di rumah, ia sangat prihatin melihat keadaan rumah yang sudah tidak layak huni, ditambah dengan keadaan adik perempuannya yang juga sakit. Ia tidak kuasa melihat adiknya yang dulu sehat kini hanya bisa terbaring lemah tak berdaya. Namum, di dalam kesedihan ini, terselip sedikit rasa bahagia. Oleh karena kebersamaan keluarga yang kembali setelah sekian lama terpisah amuk revolusi. Tidak hanya sang ayah yang bahagia, adik-adik pemuda revolusi ini juga bahagia melihat kakak tertua mereka pulang. Ketika sore hari, tokoh aku ini berkunjung ke rumah sakit untuk menjenguk sang ayah ditemani oleh istri dan adiknya. Setibanya di rumah sakit, hati mana yang tak sakit melihat ayah tercinta yang dulu gagah berani dan kini kurus kering bagaikan sebilah dipan.


Melihat keadaan sang ayah, sepertinya sudah tidak ada harapan untuk sembuh lagi. Ketika ia ditawari oleh sang paman untuk pergi berobat ke "orang pintar", ia mau saja. Padahal ia sama sekali tak percaya dengan hal-hal yang berbau mistis. Tetapi, demi sang ayah, dia mau saja. Hasilnya, jelas, tidak ada perubahan pada sang ayah, penyakit sang ayah malah tambah parah. (sebuah kisah yang mengetuk hati pembacanya untuk tetap beriman dan bertaqwa saat dihadapkan berbagai kesulitan)


Ia tak tega ketika melihat sang ayah dilanda guncangan batuk. Ditambah lagi dengan tekanan sang istri yang mengajak kembali ke Jakarta. Ia tak mau meninggalkan ayahnya. Ayahnya juga tidak ingin anaknya cepat-cepat kembali ke Jakarta. Sang ayah ingin melepas rindu lebih lama dengan anaknya.


Hari ketemu hari, keadaan sang ayah semakin bertambah parah, semua anak-anaknya merasa khawatir. Mereka selalu berusaha untuk memenuhi permintaan ayahnya. Mereka takut kalau permintaan tidak dipenuhi mereka akan merasa bersalah, karena siapa yang tau itu adalah permintaan terakhir sang ayah. Ketika keadaan bertambah buruk ayahnya memilih untuk pulang dan dirawat di rumah. Setelah beberapa hari di rumah akhirnya sang ayah menghembuskan nafas terakhir.


Pendek kata, penulis buku ini mengangkat cerita tentang jasa seorang pahlawan yang tidak lagi dibutuhkan ketika negara yang diperjuangkan sudah merdeka dari jajahan negara asing, dan yang timbul ke permukaan, malah orang-orang yang haus akan kekuasaan dan ingin menang sendiri. Dengan kata lain, buku ini mengangkat cerita pahlawan yang tidak dihargai.


Mantra Penjinak Ular - Kuntowijoyo


Pada awalnya, kisah ini ditulis Kuntowijoyo dalam cerita bersambung yang dimuat di Harian Kompas, dari 1 Mei sampai 8 Juli 2000. Latar belakangnya, seputar kehidupan zaman Orde Baru, yang menggunakan kuasanya dengan sewenang-wenang dan bertindak represif pada siapa saja yang berupaya melawan. Kuntowijoyo dalam novelnya yang berjudul Mantra Penjinak Ular (MPU) melalui Abu Kasan, ingin menegaskan sesuatu yang mulai diabaikan: “Harmonisasi manusia dan alam”. Mengembalikan hubungan asal- muasal dari “berdamai” dengan alam; yang karena nafsu berubah menjadi “menaklukkan” alam; agar bisa ditarik ke muasalnya lagi yaitu “berdamai” kembali dengan alam. Suatu persoalan yang jelas sangat relevan dengan keadaan kiwari..

Pecahan Kaca di Jalan Lestari - M. Arfani Budiman


Buku Pecahan Kaca di Jalan Lestari yang ditulis oleh M. Arfani Budiman terdiri dari tujuh puluh sajak. Sajak-sajaknya dibagi dalam tiga subjudul yaitu Pecahan, Kaca, dan Jalan Lestari.


Jujur saja, sebetulnya saya agak kurang memahami sajak atau puisi, secara teknik. Namun, sesuai pemberitahuan sebelumnya, atas dasar pertemanan, saya masukan buku ini dalam daftar. Terlebih, yang bersangkutan kerap berbaik hati, dengan rutin memberi buku untuk saya pribadi (salah satunya novel Kunto yang disebut di paragraf sebelumnya..) Jazakallahu khairan katsiran..


Cantik itu Luka - Eka Kurniawan


Belasan tahun sejak pertama kali buku ini diterbitkan, lalu tiba-tiba menuai sensasi bertahun-tahun kemudian, akhirnya buku Cantik itu Luka berada di tangan saya. Alasannya tentu saja serupa dengan entah berapa banyak pembeli edisi terbatas buku ini: agar tidak dianggap ketinggalan tren, selain karena terbuai perbincangan tentangnya dengan rekan sejawat. Tetapi, rupanya yang saya temukan setelah melahapnya habis adalah sensasi kebahagiaan sekaligus keheranan.


Namun, sebelum membaca Cantik itu Luka, tentu lebih afdol jika membaca novel Eka Kurniawan yang lainnya: Lelaki Harimau, seperti dendam rindu harus dibayar tuntas, dan O. Sehingga sudah bersiap untuk tidak terkejut dengan banyaknya tokoh (beserta segala konfliknya, seperti dalam novel O) dan penggunaan unsur realisme yang membuat kisahnya menjadi sangat Indonesia, dengan lain kata, suatu hal yang nyaris tidak berjarak dengan keseharian kita, seperti dalam novel kang Eka lainnya.


Cantik itu Luka, berupaya melempar jauh-jauh segala dominasi kepongahan dalam kemuraman zaman. Tentu dengan memberi ruang pada insan yang berteman dengan kelemahan dan ketidakberdayaan dalam kesehariannya.



*Menlitsuspol BEM unipi

31 views0 comments

Recent Posts

See All

The Twisted-Ending-Boy

Oleh: Iris (nama samaran) He was sitting in the front when I first saw him. Quiet and seems like he's not interested for socializing....

Musik Sebagai Medium Kritik sosial-politik

Oleh : Yogi Esa Sukma Nugraha Ada sebuah fenomena masif dari musik belakangan yang menjadi kekuatan politik. Hal itu terjadi pada 2014....

Comments


Post: Blog2_Post

08975018018

Subscribe Form

Thanks for submitting!

©2020 by BEM Universitas Persatuan Islam. Proudly created with Wix.com

bottom of page