top of page
Search

Jelaga di Ruang Waktu

Writer's picture: Bem UnipiBem Unipi

Oleh : Siti Masrifdah*


Setiap orang yang di bumi ini pasti pernah merasakan panasnya bara api yang apinya tak henti menjilati setiap inci dari ruang kehidupan. Setiap detak jantung adalah paksaan, setiap kematian adalah derita, dan bahkan setiap kelahiran adalah kesakitan. Hidup adalah sebuah berkah dibalik semua baranya, namun tidak bagiku. Hidup hanyalah ketidakberuntungan yang berkepanjangan dan kekejaman yang sengaja diciptakan.


Yang aku lihat sekarang hanya gelap dan sedikit sinar yang menerabas masuk melewati celah-celah karung gandum yang membungkusku sejak delapan jam lalu. Aku tak yakin akan dibawa kemana oleh berandal ini, aku hanya bisa mendengar suara kereta api yang melaju melalui lintasannya dan riuh kerumunan orang mengobrol. Bau keringat pedagang asongan yang terdengar berlalu-lalang tercium hingga menggetarkan saraf hidungku. Aku sama sekali tak bisa meminta pertolongan orang lain, tanganku terikat ke belakang dan mulutku disumpal kain yang digulung tebal. Tali tambang yang mengikat kakiku juga berandil mengelupaskan kulit dengan kasar dan membuatnya berdarah. Sakit semua bagian badanku, meringkuk dengan posisi yang sama sejak terakhir kali aku membuka mata. Kucoba bertahan melawan kantuk yang datang tanpa diundang supaya aku bisa setidaknya mendengar pengumuman lokasi pemberhentian kereta dan aku akan tahu dimana aku berada. Namun apa daya, semua lelah dan sakit ini melemahkanku dan perlahan mengaburkan ingatanku. Suara riuh di luar sana mulai menghilang, mataku tak bisa lagi menangkap cahaya yang berpendar, semua menjadi gelap perlahan, dan aku pun terlelap tak sadar.

---


Aku adalah seorang gadis miskin dari negara bagian Jharkhand, di India sebelah timur yang dipertemukan dengan berandal desa saat hendak menjual gerabah. Mereka adalah bajingan-bajingan busuk yang dengan senangnya merenggut kebahagiaan gadis-gadis desa yang tak berdosa. Pencuri masa depan gadis pemimpi dan mengubahnya menjadi derita. Semua kutukan terucap, tapi tak ada satu pun yang bisa mengalahkan mereka.


India, ketidakberuntunganku dimulai dari sini, terlahir dari seorang korban di tanah gersang yang terkutuk. Sebuah negri besar yang terbentang dari mulai jajaran Pegunungan Himalaya di utara sampai Laut Lakadewa dan Sri Lanka di selatan. Negri hindu yang memecah Teluk Benggala di timur sampai Laut Arab di barat. Negeri yang kaya akan hasil alam dan budaya. Semua orang bisa menemukan gurun, hutan, dan gletser berada dalam satu negara. Indah memang, luar biasa, namun semua itu hanya sia-sia saja, ternodai oleh manusia-manusia jahanam yang seharusnya dirajam. Setiap harinya para penerbit koran selalu menaruh satu artikel atau berita tentang pelecehan dan penculikan perempuan yang terjadi di tanah para dewa ini. Kasus penculikan di Ajmer akan selalu terkenang. Kasus di Delhi yang belum saja pupus dari ingatan sudah tertimpa lagi oleh kasus baru di Mumbai. Kasus di Kathua dan Unnao, dan masih banyak lagi yang tak akan pernah selesai.


Ini bukan peperangan antara Pandawa dan Kurawa di tanah Kurukshetra dalam wiracarita Mahabharata yang jelas musuh dan kawan, yang jelas maksud dan tujuannya. Manusia-manusia yang duduk diatas tahtanya di ibu kota yang dicitrakan menyatakan peperangan, ternyata tidaklah nyata. Mereka bukan Pandawa, dan mereka tidak sedang melawan Kurawa.


Aku sadar, ketidakberuntunganku akan selalu membuntutiku hingga aku menjadi abu. Aku akan selalu terbakar oleh panasnya kenyataan tanpa pernah mendapat pertolongan. Akhirnya nafasku mengantarku pada apa yang ibuku dan perempuan lain rasakan. Dihancurkan, dihantam, lalu diperjualbelikan. Tak akan pernah ada yang selamat jika sudah terjerat rantai iblis ini.

---


Tak ada suara kereta, tak ada bau keringat penjual kacang asongan, tak ada suara kerumunan orang-orang. Tangan dan kakiku terlepas dari ikatannya, badanku tertelungkup diatas lantai yang hangat karena suhu udara musim panas di bulan April. Kucoba membuka kelopak mata secara perlahan, lalu kulihat cahaya lampu pijar yang tergantung di langit-langit ruangan. Kutarik nafas dalam-dalam, berhadap menambah kekuatan. Kerongkonganku kering, panas, dan perih. Ku mendengar sayup-sayup percakapan berbahasa Hindi namun dengan logat yang berbeda. Logatnya terdengar seperti logat kota besar yang tersapa oleh moderenisasi. Ah, iya, itu logat Delhi. Aku berada di Delhi, negara bagian yang jaraknya lebih dari seribu kilometer dari tempat asalku. Mereka berbincang soal uang dan penjualan wanita.


Kududukkan tubuhku dan kutelisik ke sekeliling ruangan. Rupanya aku berada tepat di tengah-tengah ruangan sempit bercat putih gading yang pudar dan belasan mata menatapku dari sisi ruangan. Tak ada satupun yang berbicara atau bahkan mendekatiku. Mereka hanya terduduk bersandar ke dinding. Wajah mereka lusuh dan penuh peluh. Beberapa dari mereka menggunakan pakaian yang tidak lengkap.


Seorang wanita mendekatiku. Ia memakai kaos hitam dan celana jeans yang robek di bagian betisnya. Wanita itu menyapaku dengan suara paraunya. “Nak, aku tahu kebingunganmu. Kita semua sama disini. Kehilangan jiwa dan hidup kita. Sudah dua minggu aku disini. Kau adalah perempuan terakhir yang menggenapkan jumlah kami.”


“Apa maksudnya? Dan siapa kamu?” tanyaku bingung. Wanita ramah itu menjawab “Aku Tina. Aku seorang jurnalis dari Javandwipa di timur sana. Aku kesini sedang meliput kasus penculikan perempuan di India. Aku sengaja membuntuti jejak lelaki yang membawamu kemari. Mereka pintar dan lincah. Polisi pun tak bisa menemukan mereka sejak dua belas tahun lalu. Mereka mengetahuiku dan akhirnya aku terjebak di sini. Target para iblis itu adalah dua puluh perempuan yang akan dikirimkan entah kemana, dan kamu adalah perempuan terakhir yang mereka tangkap. Sebentar lagi mereka datang. Sesuatu yang buruk akan menimpamu disini. Kami hanya bisa melihat, tak bisa apa-apa. Kamu tidak bisa lari, tak ada celah di sini.”


Aku berusaha lari, mencari jalan untuk menemukan cahaya. Tapi apa daya, kakiku tak mengizinkanku untuk melangkah sama sekali. Wanita itu memelukku, dan berbisik sesuatu “maafkan aku, aku tidak bisa membantu. Aku merasakan apa yang kamu rasakan. Aku adalah perempuan pertama di ruangan ini. Tak ada seorang pun yang mendengar jeritanku atau memelukku saat langit runtuh menimpa jiwaku.”


Aku hanya menangis dalam pelukan wanita itu, membayangkan apa yang akan terjadi padaku. Do'a terus kupanjatkan, tapi rupanya tak ada satupun dewa di langit sana yang mendengarnya. Mereka rupanya senang melihat para iblis menghancurkanku.


Seorang dari mereka membuka pintu, lalu masuk dan diikuti tiga orang lainnya. Mereka mendekatiku sambil tertawa seperti Rahwana saat mengalahkan Jatayu dalam penculikannya atas Sita. Wanita ramah itu melepaskan pekukannya dan berlari ke sudut ruangan. Mereka mulai menyentuhku dan menghanguskan jiwaku bagaikan Dursasana saat peristiwa Cheer Haran di Hastinapura. Namun disini tak ada Krishna dengan pertolomgannya. Aku tak bisa apa-apa, seluruh kekuatanku dibungkam semesta.


Bara yang membakarku sejak aku pertama kali bernafas tak pernah kehabisan bahan bakar, selalu menggali diriku lebih dalam supaya apinya tak padam. Tubuhku berjelaga, ruang waktuku berjelaga, dan seluruh sisa hidupku dipaksa untuk terus menyaksikan semakin gelapnya jelaga yang membalutku. Aku terbakar dalam kehidupan yang tak berbeda dengan neraka. Aku hanya menunggu waktu menjadi abu dan menikmati kebebasan yang selama ini tak pernah aku rasakan.

29 views0 comments

Recent Posts

See All

The Twisted-Ending-Boy

Oleh: Iris (nama samaran) He was sitting in the front when I first saw him. Quiet and seems like he's not interested for socializing....

Musik Sebagai Medium Kritik sosial-politik

Oleh : Yogi Esa Sukma Nugraha Ada sebuah fenomena masif dari musik belakangan yang menjadi kekuatan politik. Hal itu terjadi pada 2014....

Comments


Post: Blog2_Post

08975018018

Subscribe Form

Thanks for submitting!

©2020 by BEM Universitas Persatuan Islam. Proudly created with Wix.com

bottom of page