Oleh : Yogi Esa Sukma Nugraha
Hidup itu perencanaan. Demi mencapai kesuksesan yang menjadi dambaan semua orang, banyak dari kita yang sedari awal merencanakan dengan terperinci arah hidup ke depan.
Demikian pula hal-hal mendasar tentangnya, yang pada permulaan, mengharuskan kita merenung, lalu kita bongkar sembari mengkontruksi kembali asumsi dasarnya —yang dulu barangkali pernah menyenangkan hati kita.
Selain merencanakan berbagai kemungkinan pencapaian, sebagai insan cendikia, dalam satu waktu tertentu kita juga layak terbiasa mempreteli seluruh asumsi yang ada di kepala: sebagai mahasiswa yang konon agen perubahan, kita layak menakar ulang, sejauh mana relevansi taktik-taktik usang yang masih saja kita gunakan dalam upaya mengontrol pengemban kebijakan —yang menyimpang dari kewajiban melayani kepentingan khalayak.
Maka itu, sebagai bahan studi komparatif, dengan melihat bagaimana soliditas penggemar K-Pop beberapa waktu sebelumnya, tulisan kali ini berupaya memperhitungkan kekuatan penggemar subkultur Korean-Pop yang sedikit banyak cukup mewarnai lanskap sosial kita sekarang.
Baik kita mulai saja. Adalah mas Aris Setyawan —penulis dan periset, yang juga pemain drum untuk kugiran Auretté and The Polska Seeking Carnival [1], yang memantik pikiran saya untuk menelusuri aktivisme fandom K-Pop, yang sejak pergolakan UU Ciptaker mewarnai dinamika gerakan sosial kita. Sebetulnya, pemicunya awalnya, adalah cuitan JRX, pemain drum grup musik pop-punk Superman Is Dead, yang melontarkan pandangan di sosial medianya: “Ada musisi K-pop yg mengajari kita berpikir kritis? Muka aja udah spt palsu & seragam apalagi isi otaknya,” begitu kira-kira. Sampah betul memang mulutnya. Padahal, seandainya mau memandang secara proporsional, tak sulit untuk mengetahui fakta bahwa lagu-lagu pop Korea sesungguhnya beririsan erat dengan gerakan sosial.
Seperti misal SNSD dengan lagunya berjudul ‘Into the New World’ (2007) yang salah satu liriknya berbunyi “Walking the many and unknowable paths, I follow a dim light, It’s something we’ll do together to the end, Into the new world.” Beberapa media menyebut lagu ini bahkan dinyanyikan dan diputar sebagai lagu perjuangan aksi, salah satunya saat protes massa menuntut pengunduran diri Presiden Korea Selatan Park Geun Hye yang terlibat skandal suap pada 2017. [2]
Bahkan publik selayaknya berterima kasih kepada mereka karena militansinya dalam kampanye digital menolak pemberlakuan UU Cipta Kerja. Tak hanya itu, sebagian dari para K-Poper juga ikut turun langsung ke jalan. Poster-poster yang dibawa oleh fan K-Pop saat berdemonstrasi boleh dikata unik, tapi sekaligus menunjukkan bahwa mereka punya pendirian politik. Dalam sebuah demonstrasi pada Kamis, 8 Oktober 2020, misalnya, beberapa fan K-Pop terpantau membentangkan poster dengan tulisan “Cuti streaming MV K-Pop, drama DPR-RI jinja (sangat) seru", “Kami Big Hit Stan, tapi hari ini stan ke rakyat Indonesia", atau “Ava Korea juga mahasiswa. Indonesia nomor satu, oppa nomor dua". Di saat yang sama, hal serupa terjadi dalam unjuk rasa mahasiswa di Padang yang juga menolak UU Cipta Kerja. Sejumlah ARMY (penggemar BTS) yang turut dalam aksi memutar lagu ‘Not Today’ dari BTS untuk menjadi penyemangat.
Sehubungan dengan itu —dalam laporan asumsi letters yg menulis sebuah 'analisis big data' dari kelompok sosial yang terlibat dalam protes menunjukkan K-pop sebagai pengaruh penting— kita bisa lihat berbagai aksi para fandom K-Pop terhadap gerakan pro-demokrasi di Chile, yang mengutuk ketidakadilan sosial, jurang kesejahteraan, serta kegagalan pelayanan sosial. Sobat-sobat anyeong ini bahkan menuntut Presiden Chile Sebastián Piñera mundur dari jabatannya. Tidak main-main. Konteks lebih detailnya: pada sebuah laporan yg rilis 18 Oktober 2019, mereka menggunakan platform K-Pop untuk menyampaikan pesan politik ke seluruh dunia, selain memanfaatkan meme. Setelahnya, muncul inisiatif kampanye penghindaran tarif yang dikoordinasi mahasiswa di Santiago. Lalu meningkat menjadi kerusuhan besar-besaran, dengan pengunjuk rasa yang merusak infrastruktur kota dan membakar, setidaknya 11 stasiun. Sejak itu, protes —didorong oleh disparitas dan ketidaksetaraan kelas sosial, tetapi juga respon kekerasan dari pihak berwenang— telah tumbuh lebih jauh. Pada tanggal 25 Oktober, lebih dari satu juta orang turun ke jalan untuk menuntut pengunduran diri Piñera dan pada bulan November partai-partai politik setuju untuk memberikan suara untuk mereformasi konstitusi negara, yang ditulis pada tahun 1980 di bawah kediktatoran Augusto Pinochet. PBB telah menyerukan penuntutan polisi dan anggota tentara menyusul tanggapan kekerasan mereka terhadap protes, termasuk "pembunuhan dan penyiksaan di luar hukum". [3]
Di Timur Tengah, K-Pop turut hadir dalam Arab Spring. Banyak pedemo yang mengorganisir diri di media sosial memajang foto bintang Korea sebagai avatar dan menyelipkan nama anggota-anggota BTS atau BLACKPINK dalam bio mereka.
Tak hanya itu, lagu-lagu K-Pop juga banyak yang secara khusus mengangkat isu seperti persoalan kesehatan mental. Lee Hi misalnya, dalam lagunya berjudul ‘Breath’ memberikan pesan bahwa tidak masalah jika merasa lelah dan melakukan kesalahan karena manusia tidak ada yang sempurna. Dalam lagu ini, Lee Hi seolah memberikan semangat untuk tetap bertahan dan bernapas. Lagu dengan makna positif juga terlihat dalam ‘Smile Again’ yang dibawakan oleh Winner. Dalam lagu ini, Winner memberikan semangat untuk tetap tersenyum dan tidak putus asa. Meski saya sendiri baru sekali aja dengernya, untuk keperluan penopang tulisan.
Sementara dalam upaya aktif ke berbagai kegiatan filantropi, K-Popers terlibat dalam beberapa aksi penggalangan dana melalui KitaBisa seperti ‘Aksi Kpopers Indonesia Peduli Sulawesi Tengah’ dan ‘K-Pop Fandom Peduli Gempa Donggala & Palu Sulteng’. Tidak hanya itu, ARMY Indonesia (penggemar BTS) juga dikenal banyak melakukan kegiatan amal mulai dari donasi untuk perempuan korban kekerasan, donasi untuk satwa, hingga bencana alam. Salah satu donasi yang berhasil mencapai angka fantastis adalah penggalangan dana untuk melawan COVID-19 melalui ‘BTS Army Indonesia Lawan Corona’ yang hampir mencapai 400juta rupiah. Selain itu, idolnya, BTS. Turut juga menyumbangkan 1 juta USD untuk kampanye Black Lives Matter dan donasi tambahan dengan nominal yang sama dari ARMY seluruh dunia. BTS aktif dalam gerakan kemanusiaan, kemudian menginspirasi para penggemarnya untuk turut melakukan hal yang sama.
Barangkali, setelah melihat beberapa contoh kasus di atas, cukup untuk kita bagaimana para pemuja K-Pop tak sepatutnya dipandang sebelah mata. Secara empirik, mereka sanggup membicarakan idola siang dan malam, selain juga gigih dan tangguh dalam aksi-aksi di jalanan.
Dave Randall, dalam buku Sound System: The Political Power of Music, menyatakan bahwa musisi-musisi pop niaga sebetulnya —seperti grup musik K-Pop pada umumnya— sanggup bersikap kritis dengan cara masing-masing. Konsepnya mungkin tak masuk kerangka "musik protes" gaya lama. Seperti lirik pedas Iwan Fals, atau Slank, misalnya —yang keduanya kini malah berhimpitan dengan kekuasaan.
Dalam hal ini, kita bisa ambil sample musisi folks Indonesia: Rara Sekar. Lagu-lagunya tak menghentak, nyanyiannya dengan Ananda Badudu di Banda Neira tidak mengajak orang-orang mengepalkan tangan, tetapi kita tahu mereka kritis. Dan yang layak digarisbawahi: mereka satu barisan saat menolak RUU Permusikan yang digulirkan Anang Hermansyah. Keduanya bahkan kerap terjun langsung ke lapangan.
Sebelum aksi besar-besaran mahasiswa yang digelar di DPR, Ananda Badudu berinisiatif menggalang dana publik untuk aksi pada 23 dan 24 September 2019. Ia membuat donasi di platform crowdfunding kitabisa.com dengan target donasi Rp50juta. Sumbangan donasi melonjak melebihi target menjadi Rp175 juta selama empat hari terakhir. Uang itu lantas digunakan untuk menyewa 20 ambulans serta tenaga medis, pembelian air dan konsumsi untuk para mahasiswa.
Penggalangan dana ini hanya satu bagian dari banyak hal yang dikerjakan oleh Ananda Dan Rara. Ia bersama teman-temannya menggunakan Twitter untuk berbagi informasi terkait aksi mahasiswa. Dari lokasi aman, titik jemput ambulans, pengiriman air dan obat-obatan, hingga informasi orang hilang.
Untuk itu, bagi kawan-kawan yang kerap mengolok musik 'lebay' wabilkhusus para fan K-Pop dengan diksi-diksi semacam “plastik", “alay", “fanatik", atau “toksik", sebaiknya periksa kembali argumen kalian. Sebab uraian yang dipaparkan sebelumnya itu sudah lebih dari cukup untuk sekadar membantah klaim Jrx terkait musisi K-pop yg menurutnya tidak mengajari kita berpikir kritis.
Bahkan, fandom K-Pop ini layak untuk dijadikan kawan seperjuangan dalam gerakan. Sebab, meski secara historis gerakan mahasiswa kerap tampil terdepan dalam menentang penguasa yang despotik dan mendorong terjadinya perubahan, sesungguhnya mereka hampir tidak pernah menjadi kekuatan yang benar-benar mengancam: terserapnya kawan aktivis dan akademisi reformis ke dalam kekuasaan yang turut mereproduksi politik identitas dan predatorisme bisa dijadikan bukti. Maka, siapa tau dengan kemungkinan adanya aliansi lintas-sektoral ini, bisa lebih menambah daya juang.
Lagi pula, kan, semua jenis musik itu pada dasarnya setara. Tak peduli ia bagian dari subkultur atau manufactured culture, kritis atau banal, semua musik adalah rentetan frekuensi bunyi yang tak dibeda-bedakan oleh reseptor pada otak kita. Ngapain juga harus dipersoalkan.
Terlebih semua itu unsur dunia. Bukankah yang kelak kita pertanggungjawabkan di akhirat hanyalah amal, ilmu bermanfaat dan doa anak shalih?
Wallahua'lambishawab.
[1]. Etnomusikolog, penulis, dan musikus. Mengelola arissetyawan.net https://pophariini.com/rekomendasi-aris-setyawan-aubade/
*Menteri Penelitian dan Isu Strategis BEM Universitas Persatuan Islam
Comments