top of page
Search

Catatan (Ter)pinggir(kan)

Writer's picture: Bem UnipiBem Unipi

oleh : Yogi Esa Sukma Nugraha


Besar kemungkinan, lebih mudah belajar dari tindakan ketimbang teori. Terhadap teori, seseorang menghadapi abstraksi yang —meskipun itu dirumuskan dari kenyataan— membutuhkan kemampuan menembus kerumitan bahasa agar bisa membumikannya melalui tubuh untuk berbuat sesuatu. Terhadap tindakan, seseorang dapat langsung mengukur kemungkinan dan ketidakmungkinan untuk dipraktikkannya sendiri.


Tindakan sendiri nyaris selalu tentang sesuatu yang telah terjadi, sudah dilakukan —pendeknya: berlangsung pada masa yang sudah lewat. Entah itu lima menit yang lalu atau seribu tahun silam. Maka lebih mudah memanggil masa lalu ketimbang menarik masa depan tiap kali hari ini dirasa buruk, suram, dan tidak menyenangkan. Pada masa lalu itu, orang dapat menarik tindakan-tindakan yang dianggap hebat, penting, menentukan dan sudah terbukti. Sedangkan pada masa depan, orang hanya bisa mereka-reka, meraba-raba, sebab ia masih bersifat teori, masih berbentuk abstraksi.


Ketika seseorang lebih memilih berpaling pada masa lalu, karena masa kini yang tidak enak dan tidak menyenangkan, ia sesungguhnya sedang merindukan sesuatu yang hilang, hal ihwal yang ada pada masa lalu tapi raib pada masa kini. Dengan premis itulah, hari ini, kita bisa nyatakan kehilangan buah dari tindakan reformasi. Saat ini, ruang demokratis berpotensi lenyap kembali dan oligarki leluasa berkuasa. Aksi reorganisasi mereka yang cekatan pasca 1998 sungguh diluar dugaan.


Banyak kajian ataupun pendapat yang mengemukakan bahwa politik demokrasi di Indonesia akan sulit menemukan bentuk idealnya karena telah bercampur dengan politik oligarki ini. Oleh karenanya, pembuatan kebijakan ataupun wacana politik kerap kali harus disesuaikan dengan para oligarki yang “bermain di belakang panggung”.


“Orang bebas untuk berpartisipasi dalam pemilihan, tetapi pemilik modal yang ada di partai politik juga akan ikut campur. Karena demokrasi berbiaya tinggi, sponsor diperlukan untuk memenuhi biaya politik, dan itu adalah sarang oligarki yang tidak memberikan apa pun secara gratis”. Begitulah pernyataan Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Firman Noor yang mengomentari laju politik demokrasi Indonesia yang disebutnya merupakan pencampuran dengan politik oligarki. [1]


Istilah oligarki sendiri berasal dari bahasa Yunani, oligarkhes – yang berarti diperintah atau diatur oleh beberapa orang. Merujuk pada kamus Merriam-Webster, oligarki yang sebelumnya diartikan sebagai “pemerintahan yang diatur oleh beberapa orang”, berubah menjadi “kelompok kecil orang yang melakukan kontrol terhadap pemerintahan untuk tujuan korupsi ataupun kepentingan diri mereka sendiri”.


Pada konteks Indonesia, definisi oligarki yang lebih spesifik merujuk pada pandangan Profesor di Northwestern University, Jeffrey A. Winters yang mendefinisikan oligarki sebagai politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan materil (oligark).


Dalam tulisannya, Oligarchy and Democracy in Indonesia, Winters menyebutkan, dari semua sumber daya kekuatan politik di Indonesia, kekuatan materil (kekayaan) sejauh ini adalah yang paling terkonsentrasi, serbaguna, tahan lama, dan paling tidak dibatasi. [2]


Yang menjadi dampak persoalan, tentu saja, terjadi kesenjangan kekuatan materil yang begitu besar, bahkan disebut terbesar di dunia. Betapa tidak, oligark yang hanya berjumlah 2/1.000.000 atau sekitar 400 orang (dengan asumsi jumlah penduduk 200 juta) memiliki kekayaan bersih setara 10 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) –data pada 2010. Menurut Winters, para oligarki memiliki banyak cara mengekspresikan kekuasaan mereka dalam demokrasi Indonesia, khususnya setelah kejatuhan Soeharto pada 1998.


Sementara itu Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah menyebut oligarki seperti ini hanya menguntungkan kelompok lingkaran penguasa. Para regulator di sekitar kekuasaan adalah pelaku usaha yang, tentu saja, membuat peraturan hanya untuk menguntungkan kelompok elitenya, bukan dari masyarakat kecil dan menengah seperti yang selama ini Presiden Jokowi citrakan.


Jatam mencatat, baik orang dekat Presiden Jokowi maupun pimpinan DPR, mempunyai usaha yang berhubungan dengan industri ekstraktif. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto terkait dengan PT Bara Hanyu Kapuas dan PT Multi Harapan Utama. Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan terkait dengan PT Toba Sejahtra. Ketua DPR Puan Maharani punya suami yang aktif di Odira Energy Karang Agung dan PT Rukun Raharja. Sementara Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin menjadi Komisaris PT Sinar Kumala Naga. [3]


Padahal, selaku negara yang mengklaim diri menganut politik demokrasi –seperti apa yang dikemukakan oleh Filsuf, Jean-Jacques Rousseau– sudah seharusnya kebijakan ataupun wacana politik yang bergulir mengedepankan “kebaikan bersama” atau common good, yakni kebaikan warga negara.


Sialnya, entah lugu entah oportunis, mungkin dua-duanya. Selalu saja ada penghuni rumah yang bersedia berunding dengan maling di ruang tamunya sendiri, dan itu kemungkinannya hanya ada tiga: hilangnya rasa malu, (maaf) bodoh, atau memang dia bagian dari komplotan tersebut. Tentu tiga-tiganya tidak bisa ditolerir. Sebab, besar kemungkinan bahwa hanya politik oligarkis inilah memang satu-satunya yang punya andil dalam karamnya demokrasi kita hari ini.


Selanjutnya, mari kita kuliti satu persatu.


Yang pertama, Undang-Undang Cipta Kerja, seperti yang sering didiskusikan sebelumnya, sangatlah bermasalah. Mulai dari proses pembahasan yang serba rahasia, asumsi peningkatan investasi yang keliru, dan pemangkasan hak pekerja. Belum lagi substansi yang jarang dibawa sebelumnya ke muka publik: diam-diam rezim bermaksud memangkas habis kewenangan pemerintah daerah (Gubernur, Bupati) atas kendalinya terhadap sumber daya dan proses politik di daerah yang jadi salah satu mandat reformasi (UU No. 32/2004 tentang Otonomi Daerah). Tanpa tedeng aling-aling, Presiden hendak mengakhiri kekuasaan politik daerah yang sejatinya jadi penanda berakhirnya Orde Baru. Kepala daerah yang dipilih oleh warganya sendiri tak lagi punya makna sebagai otoritas yang menjamin pembangunan dan kesejahteraan warga. Semua harus seizin paduka di pusat kekuasaan. [4]


Segala izin prinsip, penentuan lokasi, kajian lingkungan hidup, penetapan jenis tanaman yang hendak diusahakan, hingga penataan ruang kota, desa, wilayah pesisir hingga kelautan, semuanya ditarik kembali ke pusat. Praktis daerah hanya disisakan tugas untuk mengawasi dan memberi masukan kepada presiden (perubahan UU Penataan Ruang, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir, UU Kelautan dalam UU Cipta Kerja).


Pengesahan mendadak UU Cipta Kerja sontak disambut amarah rakyat. Buruh melancarkan mogok kerja di Bandung, Sidoarjo, Karawang, Purwakarta, hingga Serang. Demikian pula elemen mahasiswa berbagai daerah sigap turun ke jalan. Bentrokan dengan aparat terjadi dimana-mana. Media sosial dipenuhi caci maki buat parlemen dan pemerintah. Terngiang kembali memori September 2019, saat ratusan ribu elemen rakyat tumpah ke jalanan menyerukan #ReformasiDikorupsi


Kedua, wacana pengaktifan kembali kelompok masyarakat sipil —Pam Swakarsa, yang dibentuk pada era kericuhan 1998 —yang kala itu bertugas menggebuk barisan mahasiswa yang menolak Sidang Istimewa MPR karena masih berisi orang-orang dari Orde Baru.


Dalam laporannya, tirtoid menyebutkan, kepolisian sebenarnya sudah mengesahkan PAM Swakarsa sejak era Kapolri Idham Azis melalui Peraturan Kepolisian No. 4 Tahun 2020 tentang PAM Swakarsa. Aturan ini turunan dari Undang Undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian. Aturan yang diteken Agustus 2020 lalu ini menyebutkam bahwa tugas PAM Swakarsa untuk memenuhi rasa aman dan nyaman di suatu lingkungan. Mereka yang direkrut adalah satpam, satuan keamanan lingkungan dan kelompok masyarakat. [5]


Akan tetapi, untuk menanggapi soal ini, ada beberapa pertanyaan yang layak diajukan: apa ada jaminan tidak terjadi penyalahgunaan wewenang, seperti yang terjadi di tahun 1998 —yang bahkan kini di legitimasi kebijakan? Atau, mungkin bisa juga, apa ada jaminan praktiknya akan dilakukan dengan cara persuasif dan humanistis?


Sebelumnya, sudah ada prakondisi untuk mengaktifkan PAM Swakarsa dengan melibatkan preman-preman untuk penanganan Covid-19, yang mana tentu saja hasilnya itu tidak efektif.


Sehingga muncul pula kekhawatiran lain jika PAM Swakarsa ini dilekatkan dengan agenda pemerintah, maka ke depannya kebebasan berekspresi sipil akan terancam karena dihadapkan kelompok-kelompok yang sudah disiapkan untuk menghadapi kritik dari masyarakat.


Rivan Lee, dari kontras berpendapat, "Arahnya, negara menggunakan pendekatan keamanan untuk memuluskan narasi tunggalnya saja, sehingga menutup ruang kritik atau saran dari masyarakat sipil terhadap kebijakan-kebijakan yang kontroversial," [6]


Menghidupkan kembali Pam Swakarsa sama saja mengembalikan kita ke zaman Orde Baru (Orba). Seruan revolusi 4.0 hanyalah utopia, nyatanya pemerintah bahkan malah menciptakan Orba 4.0, dan seolah menghendaki dekadensi.


Eksesnya tentu bukan sembarangan, kekhawatiran menimbulkan kembali konflik horizontal seperti 1998 bisa menjadi kenyataan. [7] Sebelum wacana kebijakan pengaktifan Pam Swakarsa ini dimunculkan, Koalisi Masyarakat Sipil mencatat bahwa terdapat beberapa pelanggaran yang menunjukan rendahnya komitmen pemerintah terhadap perlindungan HAM. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa aksi demonstrasi yang berakhir dengan brutalitas aparat terhadap massa aksi. Seperti pada aksi #ReformasiDikorupsi yang menolak revisi UU KPK, UU Minerba, serta KUHP yang terjadi pada akhir Tahun 2019. Lebih lanjut, peristiwa serupa kembali terulang dalam aksi #MosiTidakPercaya dalam penolakan UU Cipta Kerja pada Tahun 2020.


Dalam aspek kebebasan sipil berpendapat ini, ditemukan juga bahwa selama satu tahun terakhir negara kerap menggunakan instrumen yang dimiliki, baik instrumen hukum maupun instrumen kelembagaan untuk memberangus ekspresi orang-orang yang kritis terhadap Pemerintah maupun berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Dalam hal ini, UU ITE masih menjadi salah satu ancaman utama bagi warga masyarakat yang kritis, karena norma yang terkandung di dalamnya dapat digunakan secara sepihak untuk menargetkan yang kritik kepada Pemerintah.


Dan tentu saja fenomena pelanggaran terhadap hak atas kebebasan berekspresi tidak hanya terjadi di ruang-ruang fisik, namun juga di ruang digital melalui berbagai kasus peretasan, intimidasi, doxing, sampai penyiksaan di ruang siber terhadap individu maupun kelompok yang menyampaikan kritik, mengadakan diskusi, atau mempublikasikan berita yang memprotes dan mengkritisi kebijakan pemerintah. [8]


Padahal kemerdekaan untuk dapat menyampaikan pendapat merupakan hak asasi yang dilindungi oleh Pasal 28 UUD 1945. Sehingga menjadi keharusan bagi pemerintah untuk melindungi dan memenuhi hak konstitusional tersebut. Namun tingginya angka kekerasan seperti tindakan represif yang dilakukan oleh aparat serta kriminalisasi terhadap aktivis menjadi tendensi buruk bagi perlindungan keamanan serta keselamatan masyarakat


Di titik inilah, barangkali bisa dibayangkan bagaimana jadinya apabila wacana pengaktifan Pam Swakarsa berhasil diupayakan.


Ketiga, meningkatnya angka terjadinya konflik agraria menjadi salah satu catatan penting lainnya. Pada Tahun 2020 terjadi perluasan dan peningkatan wilayah yang terdampak konflik. Termasuk apabila dilihat dari eskalasi kekerasan, jumlah petani, masyarakat adat, dan aktivis yang ditangkap karena mempertahankan hak atas tanahnya, di tahun 2020 mengalami peningkatan. Hingga pada maret tahun 2020, kembali tercatat sembilan kasus tentang konflik agraria dan susulan kasus-kasus di bulan berikutnya. Angka penambahan kasus serta penangan konflik agraria menunjukan bahwa, penangan konflik agraria tidak sejalan dengan pencegahan konflik agraria. [9]


Terakhir, dagelan oligarki lainnya yang kemungkinan dilanjut dengan revisi UU Pemilu, yang diwacanakan ingin menaikkan parliamentary threshold hingga 7%. Jika lolos, maka konsekuensi logis menuntut hilangnya partai-partai kecil di parlemen, sehingga mendorong merger dan penyederhanaan partai. Sedikitnya jumlah partai mungkin sering diandalkan sebagai solusi modernisasi politik. Namun, dalam konstelasi politik kita hari ini yang konon tak mengenal konsepoposisi, yang bakal muncul hanyalah despotisme dan parlemen boneka. [10]


Dan jangan lupa, upaya pemerintah dalam pemberantasan korupsi hingga saat ini hanya sebatas jargon semata. Sejak dikebirinya wewenang komisi antikorupsi melalui revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pertimbangan pejabat publik untuk tidak melakukan korupsi makin rendah. Buktinya, pola korupsi yang dilakukan oleh dua Menteri di Kabinet Presiden Jokowi masih menggunakan cara-cara lama. Misal, baru-baru ini, seperti yang kita ketahui bersama bahwa ada kasus dugaan suap yang melibatkan Menteri Sosial karena meminta fee dari setiap paket bantuan sosial untuk Covid-19 sebesar Rp10 ribu.


Kesemuanya itu dapat disimpulkan bahwa reformasi telah habis dikorupsi oligarki. Dan menguatnya konsolidasi oligarki yang secara brutal menyandera demokrasi ini bisa dijadikan bukti. Kelompok oligarki tidak hanya menggurita pada sistem perekonomian dan investasi, namun saat ini mereka juga memaksa masuk ke dalam sistem pemerintahan melalui pelbagai kebijakan kontroversial di tengah pandemi. Itulah kenapa, sebagai mahasiswa, kita harus tetap menyediakan ruang skeptis kepada Pemerintah dan mendorong adanya perubahan menyeluruh dalam sistem yang ada. Karena selama tidak ada perubahan sistem pemerintahan dan politik, maka tidak akan ada perbaikan bagi kehidupan masyarakat. Langgengnya praktik korupsi dan kekerasan terhadap rakyat akan terus berlanjut jika tidak ada komitmen dan langkah konkret untuk mencegahnya. Untuk itu, tetaplah di dalam barisan mereka yang berupaya menumbuhkan keadilan sosial meski pada akhirnya sangat berpotensi disingkirkan oleh mereka yang tamak dan haus kekuasaan.


Saya tutup dengan nukilan Sjahrir: Gelar itu bagi intelektual hanya pelengkap, terpenting apa yang dia bisa lakukan untuk rakyat.


Bandung, 26 Januari 2021



***


[1].

[2].

[3].

[4].

[5].

[6].

[7].

Untuk lebih jelas terkait tindak-tanduk Pam Swakarsa di tahun 1998, bisa di lihat video berdurasi kurang lebih dua menit berikut ini: https://youtu.be/Ce4iOH6ZjPk

[8].

[9].

[10].



*Menlitsuspol BEM Unipi

64 views0 comments

Recent Posts

See All

The Twisted-Ending-Boy

Oleh: Iris (nama samaran) He was sitting in the front when I first saw him. Quiet and seems like he's not interested for socializing....

Musik Sebagai Medium Kritik sosial-politik

Oleh : Yogi Esa Sukma Nugraha Ada sebuah fenomena masif dari musik belakangan yang menjadi kekuatan politik. Hal itu terjadi pada 2014....

Comments


Post: Blog2_Post

08975018018

Subscribe Form

Thanks for submitting!

©2020 by BEM Universitas Persatuan Islam. Proudly created with Wix.com

bottom of page