Belajar dari Masa Silam: Upaya Adil Sejak dalam Pikiran Menyikapi Persoalan Kekinian
oleh : Yogi Esa Sukma Nugraha*
Ditengah gempuran pandemi covid-19 (atau corona) yang kian hari kian membuat kita semua kelimpungan, muncul beragam persoalan turunannya yang tentunya membuat keadaan jiwa dan pikiran bertambah runyam.
Berbagai informasi destruktif bagi psikis bertebaran di ranah daring. Perbincangan ruang publik di tengah pandemi, masih diisi oleh berita dangkal yang minim substansi. Isu penjarahan oleh kelompok anarko menjadi salah satu yang mencuat hari ini. Namun, yang memprihatinkan, adanya penyitaan Buku Aksi Massa karya Tan Malaka (Bapak Republik Indonesia) yang dijadikan barang bukti untuk aksi yang akan dilakukan kelompok tersebut.
Pertanyaannya, apakah sebegitu berbahayanya sehingga buku bacaan bisa menjadi sumber permasalahan belakangan ini?
Mari kita urai lebih dalam.
Anarko dan Catatan Sejarah singkat tentangnya
Anarkisme adalah sebuah gagasan yang cukup sulit untuk dipahami, selain beberapa menganggap utopis, juga karena bersebrangan dengan gagasan konservatif yang sedari dulu (secara tidak sadar, mungkin) telah tertanam dalam diri. Terlebih fakta empiris membuktikan — dalam pendidikan formal — sejak SD hingga SMA kita dicocokan terus ajaran yang bernilai konservatif.
Merujuk pustaka yang didapat dari pinjaman rekan sejawat: Anarkisme adalah sikap kemerdekaan, bukan pembangkangan, terlebih kejahatan. Anarkisme sebagai gagasan turut menyumbangkan konsep ideal tentang perwujudan nilai humanisme universal; sebuah asas kemerdekaan tiap individu semutlak-mutlaknya. Sepenuh-penuhnya. Hingga tak ada satu bentuk kekuasaan dalam porsi segenggam tangan pun yang dapat mengambil alih kekuasaan individu lain. Sekilas terlihat cukup (atau mungkin sudah teruji?) manusiawi. Namun, dalam tujuan dan metode kaum anarkis sendiri pun terdapat arus yang saling bersaing dan bersilang jalan, seperti misal kiprah Proudhonian dan Alexander Berkman yang lebih mengedepankan jalan damai. Dan tak jarang pula, dalam perjalanan sejarahnya, kerap beririsan dengan —dan memang ada yang menghendaki—jalan kekerasan. Suatu hal yang diafirmasi kredo: cinta memang terkadang hanya timbul melalui selongsong senapan.
Anarkisme adalah ideologi yang tak memiliki tanah air. Sebagai isme yang dikenal impor dari Eropa karena memang dari sana bermula ideologi ini diartikulasikan, elemen-elemen dasarnya diformulasikan, diperbincangkan hingga paham ini terus mengada di antara paham-paham besar lainnya yang juga dikumandangkan dari sana. Namun, sesungguhnya ketika membicarakan anarkisme di Indonesia, juga sebenarnya tak lebih ibarat mendaur ulang elemen-elemen dasar yang sudah ada pada kearifan moyang Nusantara. Hal ini membuktikan bahwa diskursus menyoal anarkisme sebenarnya sudah eksis jauh sebelum Indonesia merdeka.
Sejak zaman kolonial hingga kini — dikutip dari historiaid, anarkisme selalu sibuk melakukan perlawanan mandiri. Anarkisme mengakar dalam beberapa kearifan lokal Nusantara.
Seperti misalnya slogan “Do It Yourself (DIY)” yang adalah bentuk upaya agar berjarak dari kemudahan dalam mengakses fasilitas negara yang segendang-sepenarian dengan jargon “Berdiri di Atas Kaki Sendiri (Berdikari)”. Pun gerakan “Civil Disobedience” atau pembangkangan sipil dapat disetarakan dengan aksi menolak bayar pajak oleh kaum Samin pimpinan Suro Sentiko. Ada pula semangat “Kolektivo” tentu dapat disejajarkan dengan tradisi “Gotong-royong”, juga pilihan sikap kaum Eco-Anarchist dalam hal menjauhi teknologi yang dianggap merusak kemanusiaan; tradisi yang sudah lama dipraktikkan oleh urang Kanekes (Suku Baduy).
Para pemikir dan pelaku sejarah pra-kemerdekaan pun banyak memiliki ketertarikan tentang paham ini, setidaknya sering membicarakannya. Gerakan anarkis dan buruh sindikalis sudah melakukan perlawanan terhadap kolonial Belanda hingga masa fasis Jepang menguasai Indonesia. Tentunya gerakan anarkisme ini tidak pernah tercatat di dalam sejarah "resmi" Indonesia.
Masalahnya muncul setelah beredar video di media sosial seorang pria bernama Pius Laut Labungan yang mengaku sebagai Ketua Anarko Sindikalis. Dalam rekaman video tersebut, pria itu terlihat memiliki tato besar berlambang A berwarna hitam di dadanya. "Saya adalah A1, saya Ketua Anarko Sindikalis Indonesia dengan tujuan tatanan dunia baru tanpa pemerintahan. Saya punya A1 adalah saya," kata dia melalui video yang disiarkan oleh INews, Selasa (14/4/2020).
Dan yang menjadi soal, sejak kapan anarko yang anti-hierarki justru punya ketua? Apakah, ada upaya sistematis untuk mengeliminir seluruh kelompok oposisi, dan kelompok lainnya yang berpandangan kritis terhadap pemerintah? Bisa jadi, iya. Padahal, suka tidak suka, seorang anarko punya andil besar pada bangsa Indonesia. Adalah Edouard Douwes Dekker, yang lebih dikenal dengan Multatuli, pada 1859 menerbitkan novel antikolonial Max Havelaar. Sebuah buku yang oleh sastrawan terbesar Indonesia Pramoedya Ananta Toer disebut sebagai “The book that killed colonialism".
Darurat Literasi Kita
Buku Aksi Massa yang konteksnya sekitar rancangan berlawannya orang-orang kiri di Prambanan 1926, dianggap telah menjadi inspirasi gerakan Anarkisma. Apa iya?
Nyatanya, buku itulah yang menyebabkan friksi antara orang pergerakan saat itu terjadi, yang juga menyebabkan Tan Malaka keluar dari organisasi/partai yang pertama memakai nama Indonesia, namun beliau tetap setia di jalannya karena memang pikiran dan tindakannya itulah bensin perjuangannya, lalu membuat PARI setelahnya.
Selain itu, subtansi pikiran Tan Malaka dalam bukunya tersebut ingin menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia belum sepenuhnya terbebas dari belenggu adat feodalisme. Adat yang terbentuk akibat perjalanan sejarah selama ratusan bahkan ribuan tahun namun tidak membawa dampak kemajuan apa-apa bagi manusia Indonesia di masa modern. Belum lagi kepercayaan terhadap takhayul yang masih menyelubungi alam pikirannya, membuat rakyat Indonesia, dari dulu (hingga sekarang, mungkin?) masih tetap menjadi budak belian yang penurut, bulan-bulanan dari perampok-perampok asing.
Tan Malaka menganalisis revolusi akan terjadi di Indonesia apabila sejumlah prasyarat, baik secara objektif maupun subjektifnya sudah terpenuhi. Sejak permulaan, dalam karyanya ini, Tan Malaka sudah menyadari sepenuhnya bahwa syarat-syarat terjadinya revolusi di Indonesia belumlah memadai. Tahapan sejarah dan kapitalisme yang berkembang saat itu tidak secara teratur, dan akan membuat revolusi Indonesia berbeda dengan revolusi di negeri lainnya. Pendeknya: Tan Malaka menganggap bahwa Aksi Prambanan adalah revolusi prematur, yang akan terlihat sebagai putch (kekacauan) belaka.
"Selama orang percaya bahwa kemerdekaan akan tercapai lewat putsch atau "anarkisme", itu hanyalah impian seorang yang lagi demam." Ungkap Tan Malaka dalam bukunya.
Jelaslah bahwa Tan Malaka mengutuk Anarkisme habis-habisan.
Sebagai mahasiswa, kita layak menggugat —jika sudah puas menertawakan— perihal sitaan buku Aksi Massa (Tan Malaka). Sungguh mengherankan ketika barang bukti yang disita ternyata tersedia di Gramedia, lebih mengherankan lagi disita karena dianggap jadi inspirasi Anarkisme. Lucu. Sekaligus menandakan darurat Literasi kita. Terlebih, setelah melihat data Perpustakaan Nasional (Perpusnas) pada 2017, menyebut rata-rata orang Indonesia hanya membaca buku 3-4 kali per minggu, dengan durasi waktu membaca per hari rata-rata 30-59 menit. Sedangkan, jumlah buku yang ditamatkan dalam survei ini per tahun rata-rata hanya 5-9 buku.
Padahal, bangsa ini didirikan oleh mereka yang membaca. Para pendiri bangsa ini dasarnya adalah pecinta buku. Sebagai pengingat, di awal abad 20, hampir seluruh pendiri bangsa punya cerita dengan buku. Seperti yang diungkapkan Bung Hatta: “Aku bisa hidup di manapun, asal dengan buku.” Ada pula Abdul Rivai, dokter bumiputera pertama yang lulus dari Belanda, misalnya. Pada salah satu artikelnya yang ditulis pada 1901, Rivai mengatakan, “Karena aku membaca, maka aku bertanya siapakah kita?”.
Ada lagi Kartini, yang namanya dikenal sebagai pejuang emansipasi wanita. Kartini, di sebuah desa kecil di Jepara, hidup dalam limpahan literasi. Pada 1903, Kartini menulis, “Aku benamkan diriku dalam membaca dan membaca.” Pernyataan itu kelak terekam dalam kumpulan suratnya yang dibukukan pada 1911 berjudul Habis Gelap, Terbitlah Terang. Yang juga tidak kalah gandrung dengan buku tentu saja Bung Karno. Di umurnya yang saat itu masih muda, Sukarno memuaskan dahaga intelektualnya dengan memanfaatkan perpustakaan milik perkumpulan teosofi di Surabaya.
Akhirul kalam, mari kita belajar dari masa silam dalam mengupayakan adil sejak dalam pikiran untuk menyikapi persoalan kekinian. Apapun persoalannya, jangan sampai ketidaktahuan menjadikan kita sebagai generasi pembenci tanpa paham. Salah-satunya dengan tidak menghilangkan tradisi membaca. Seperti anjuran Tan Malaka dalam karya monumentalnya yang terbit pada 1943 berjudul Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika; "Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi".
****
Catatan: tulisan ini dibuat sebagai otokritik pada diri yg sedang malas menjamah literatur fiksi, maupun non-fiksi.
*Menlitsuspol BEM unipi
コメント